PERSPEKTIF
PERKEMBANGAN
A.
Berbagai Persoalan Teoritis Dasar
Teori
(theory) adalah sebuah kumpulan antara gagasan atau pernyataan yang berhubungan
secara logis, yang berusaha untuk menggambarkan dan menjelaskan perkembangan
serta dapat juga meramalkan jenis-jenis perilaku yang mungkin akan terjadi pada
kondisi-kondisi tertentu. Teori tidak hanya tebakan. Tetapi teori juga
merupakan sebuah cara untuk mengolah data atau informasi yang dikumpulkan dalam
penelitian, dan sumber untuk penjelasan hipotesis atau prediksi tersebut dapat
diuji oleh peneliti lebih lanjut.
Berbagai
teori bersifat dinamis, mereka mengubah untuk memasukkan temuan-temuan yang
baru. Terkadang, penelitian mendukung sebuah hipotesis dan teori yang
mendasarinya. Tetapi juga Para ilmuwan harus mengubah teori mereka untuk
menjelaskan data yang terduga. Hasil-hasil penelitian selain memiliki aplikasi
praktis, sering menyarankan pertanyaan
tambahan dan hipotesis untuk diperiksa.
Sebagian
para ahli teori memiliki cara menjelaskan perkembangan tergantung pada cara
mereka memandang dua persoalan yang mendasar :
1. Apakah manusia berperan aktif atau pasif dalam perkembangan mereka sendiri.
2. Apakah perkembangan muncul dalam bentuk tahapan-tahapan.
3. Apakah perkembangan lebih banyak dipengaruhi oleh hereditas atau lingkungan.
Berikut
kita akan membahas sekilas dari persoalan-persoalan di atas.
1.
Aktif
atau pasifkah perkembangan itu?
Pada
abad ke-18. Jhon Locke, seorang filsuf inggris, yang menyatakan bahwa anak
kecil seperti sebuah tabula rasa, atau
sebuah “batu tulis yang kosong”. Sementara, Jean Jacques Rousseau, seorang
filsuf asal prancis, meyakini bahwa anak-anak terlahir “noble savage”, akan
berkembang menurut kecenderungan alami mereka yang positif jika tidak dirusak
oleh masyarakat yang represif. Kedua pandangan tersebut sangat sederhana.
Setiap anak-anak memiliki berbagai dorongan dan kebutuhan internal yang
memengaruhi perkembangan, tetapi mereka juga makhluk sosial yang tidak dapat
mencapai perkembangan optimal dalam pengasingan.
Debat
terhadap filsuf-filsuf tersebut mengarah pada dua model atau perkembangan yang
berlawanan, yaitu : mekanistik dan organismik. Pandangan Locke merupakan
pelopor model perkembangan mekanistik.
Dimana pada model ini manusia seperti mesin yang bereaksi terhadap masukan
lingkungan (Pepper, 1942, 1961). Jika kita cukup mengetahui tentang bagaimana
merakit “mesin” manusia, berarti dapat meramalkan hal yang akan dilakukan
manusia. Penelitian mekanisme berusaha mengidentifikasi dan mengasingkan
faktor-faktor yang membuat manusia berperilaku seperti yang mereka lakukan.
Rousseau
adalah perintis model perkembangan
organismik. Model ini memandang manusia sebagai organisme yang aktif dan
tumbuh, yang melakukan proses perkembangan mereka sendiri (Pepper, 1942, 1961).
Pengaruh lingkungan tidak menyebabkan perkembangan, meskipun hal tersebut dapat
mempercepat atau memperlambatnya. Perilaku manusia merupakan suatu keseluruhan
organik, tidak dapat diramalkan dengan memecah-mecahnya ke dalam respon
sederhana terhadap rangsangan lingkungan.
2.
Apakah
perkembangan dihasilkan secara berkesinambungan, atau muncul dalam bentuk
tahapan?
Model-model
mekanistik dan organismik juga memiliki perbedaan persoalan kedua: apakah
perkembangan dihasilkan secara berkesinambungan, atau muncul dalam bentuk
tahapan?
Para ahli teori mekanistik memandang perkembangan sebagai hal yang berkesinambungan, seperti berjalan atau merangkak naik. Perkembangan dalam model ini, selalu dikendalikan oleh berbagai proses yang sama, untuk meramalkan berbagai perilaku sebelumnya dari perilaku sesudahnya. Para ahli teori mekanistik memusatkan pada perubahan kuantitatif.
Para ahli teori mekanistik memandang perkembangan sebagai hal yang berkesinambungan, seperti berjalan atau merangkak naik. Perkembangan dalam model ini, selalu dikendalikan oleh berbagai proses yang sama, untuk meramalkan berbagai perilaku sebelumnya dari perilaku sesudahnya. Para ahli teori mekanistik memusatkan pada perubahan kuantitatif.
Para
ahli teori organismik menekankan perubahan kualitatif (Looft, 1973). Para ahli
teori ini memandang perkembangan muncul dalam serangkaian tahapan yang berbeda,
seperti tangga. Pada setiap tahapan manusia mengatasi berbagai macam masalah
dan mengembangkan berbagai macam kemampuan yang berbeda.
B.
Konsensus
yang Muncul
Model
mekanistik dan organismik mengalami peralihan pengaruh dengan seiringnya berkembangnya
kajian manusia. Pelopor terdahulu lebih menyukai pendekatan organismik atau tahapan.
Adapun pelopornya seperti Sigmund Freud, Erik H. Erikson, dan Jean Piaget. Pada
tahun 1960-an, pandangan mendapat mekanistik mendapat dukungan, dengan
kepopuleran teori-teori belajar dari karya Jhon B. Watson. Saat ini, banyak
perhatian teori dan penelitian memusatkan pada perilaku berbasis biologi.
Para
ilmuwan perkembangan lebih banyak menyeimbangkan pandangan perkembangan aktif
dan pasif. Terdapat kesepakatan yang luas bahwa pengaruhnya dua arah. Manusia
mengubah dunianya meskipun dunia mengubah mereka. Seperti seorang bayi lelaki
yang lahir dengan kecenderungan riang akan mendapatkan respon positif dari
orang dewasa, yang akan memperkuat kepercayaan dirinya bahwa ketika tersenyum
ia akan mendapat hadiah. Sehingga memotivasinya untuk lebih banyak tersenyum.
C.
Berbagai
Sudut Pandang Teoritis
Banyak
peneliti memandang perkembangan dari berbagai sudut pandang teoritis yang
berbeda. Berbagai sudut pandang ini dapat memengaruhi permasalahan penelitian,
metode yang mereka gunakan, dan cara menginterprestasi data. Oleh karena itu,
untuk mengevaluasi dan menginterprestasi penelitian penting untuk mengenali
berbagai sudut pandang teoritis yang mendasarinya.
Ada
lima sudut pandang utama yang mendasari sejumlah teori dan penelitian yang
berpengaruh terhadap perkembangan manusia, adalah :
1.
Psikoanalisa (memusatkan pada berbagai emosi dan dorongan bawah sadar)
2.
Belajar (mempelajari perilaku yang dapat diobsevasi)
3.
Kognitif (menganalisis berbagai proses berpikir)
4.
Evolusioner atau sosiobiologis (mempertimbangkandasar evolusioner dan biologis
dari perilaku)
5.
Kontekstual (memberikan pengaruh terhadap pengaruh konteks sejarah, sosisal,
dan budaya)
Berikut
adalah pemandangan umum terhadap asumsi, fokus utama, dan metode masing-masing
sudut pandang serta beberapa ahli teori terkemuka dalam tiap-tiap sudut
pandang.
a.
Perspektif 1: Psikoanalisis
Perspektif
psikoanalisis memandang perkembangan dibentuk oleh kekuatan bawah sadar yang
memotivasi manusia. Pandangan ini menganggap bahwa perkembangan dibentuk dari
ketidaksadaran. Sigmund Freud (1856-1939) seorang Dokter dari Wina, Austria merumuskan perspektif psikoanalisis, yang mana menurut
beliau perkembangan sebagai bentuk dari kekuatan ketidaksadaran yang dapat
memotivasi perilaku manusia.
Psikoanalisis
adalah pendekatan terapi yang dikembangkan Freud, dengan mencoba untuk
memberikan pasien wawasan ke dalam konflik-konflik emosional yang tidak sadar
dengan menanyakan mereka pertanyaan
untuk mengungkapkan memori yang telah lama terpendam. Selain itu, seorang ahli
yaitu Erik H. Erikson, memperluas dan
memodifikasi teori Freud. Berikut ini kita akan membahas teori Freud dan Erik
H. Erikson.
· Sigmund Freud (perkembangan
psikoseksual)
Perkembangan
psikoseksual dalam teori Freudian adalah rangkaian konstan tahapan perkembangan
karakter selama masa bayi, anak-anak, dan remaja dimana kenikmatan akan
berubah-ubah. Freud (1953, 1964a, 1964b)
percaya bahwa manusia lahir dengan dorongan-dorongan biologis yang harus diarahkan ulang supaya
mereka dapat hidup bermasyarakat. Beliau
mengajukan tiga hipotesis kepribadian, yaitu id, ego dan superego. Bagi yang baru lahir diatur oleh id , yang mana menjalankan prinsip
kesenangan yang mendorong untuk mencari kepuasan kebutuhan dan keinginan dalam
waktu dekat. Ketika kepuasan itu tertunda sebagaimana ketika bayi kita harus
menunggu lama untuk diberi makan, mereka mulai melihat bahwa diri mereka sendiri
terpisah dari luar dunia.
Ego,
ketika
telah mampu menggambarkan penalaran, berkembang secara berangsur-angsur selama
tahun pertama kehidupan atau berikutnya dan menjalankan prinsip nyata. Ego bertujuan menemukan cara yang realistik untuk memuaskan id yang dapat diterima oleh superego, yang mana ini berkembang mulai dari umur 5 atau 6 bulan. Superego mencakup perasaan dan memasukkan segala yang
“boleh” dan “tidak boleh” yang diterima secara sosial ke dalam sistem nilai
anak. Superego memiliki tuntutan yang
tinggi, jika prestasi tidak didapatkan maka seorang anak akan merasa bersalah
dan cemas. Ego menengahi antara
keinginan id dan tuntutan dari superego.
Freud mengemukakan
bahwa kepribadian yang terbentuk dari
masa kanak-kanak yang dapat menimbulkan konflik
antara berbagai dorongan id
dari bayi dan tuntutan hidup yang
beradap. Konflik ini terjadi dalam
rangkaian yang tidak berubah-ubah dari lima dasar tahapan perkembangan psikoseksual,
yang mana kesenangan sensualitas berubah
dari satu daerah ke tubuh yang lain. Dari mulut
ke anus dan kemudian ke genital. Pada setiap langkah, perilaku yang menjadi sumber utama kepuasan (atau frustasi) berubah dari pemberian makan ke penghilangan dan
terkadang aktivitas seksual.
Tahap-tahap
psikoseksual menurut Sigmund Freud, yaitu :
1.
Oral (Dari lahir sampai dengan 12-18
bulan)
Pada tahap ini sumber
kenikmatan bayi mencakup berbagai aktivitas yang berorientasi pada mulut,
misalnya mengisap atau makan.
2.
Anal (12-18 bulan sampai 3 tahun)
Seorang anak mengalami
kepuasan seksual pada saat menahan dan mengeluarkan kotoran. Daerah kepuasannya
ada pada anal dan toilet training sangat penting dijalankan pada saat ini.
3.
Phalic (Dari 2 tahun sampai 6 tahun)
Anak sangat dekat
dengan orang tua yang berbeda jenis kelamin dan biasanya meniru orang tua yang
berjenis kelamin sama. Superego mulai
berkembang pada masa ini dan daerah kepuasan beralih pada daerah alat kelamin.
4.
Latency (6 tahun sampai dengan pubertas)
Waktu yang relatif
tenang antara tahapan-tahapan yang lebih bergejolak.
5.
Genital (pubertas sampai dengan dewasa)
Munculnya kembali
dorongan-dorongan seksual yang terpendam pada saat tahap phalic untuk
disalurkan ke seksualitas dewasa yang matang.
Freud mengatakan
bahwa tiga tahapan pertama pada beberapa tahun pertama kehidupan sangat
penting, dan apabila pada suatu tahapan seorang anak menerima terlalu lebih
atau terlalu kurang maka mereka akan beresiko fiksasi yaitu suatu penahanan yang akan mempengaruhi kepribadian
seseorang pada tahap dewasa.
Pada tahap oral,
ketika pemberian makan menjadi sumber utama kepuasan sensual apabila kebutuhan sorang bayi banyak yang
belum terpenuhi maka pada masa dewasa
dia akan tumbuh menjadi anak yang suka menggigit kuku atau perokok atau
mengembangkan pribadi yang benar-benar kritis. Seseorang yang pada masa bayi
mengalami pelatihan toilet yang terlalu ketat, mungkin akan bermasalah pada
tahap anal, ketika sumber utama kesenangan adalah buang air. Orang yang seperti
ini mungkin akan tumbuh menjadi pribadi yang terlalu mengutamakan kebersihan
dan selalu menjalankan jadwalnya dengan kaku yang biasanya berantakan.
Freud mengatakan
bahwa peristiwa penting dalam
perkembangan psikoseksual terjadi pada tahap Phalic pada masa kanak-kanak
awal. Dalam hal ini anak laki-laki
identik dengan keinginan seksual dengan ibunya, begitu juga dengan anak
perempuan yang memiliki keinginan seksual dengan ayah mereka, dan mereka
menganggap bahwa orang tua sejenis dengan mereka merupakan saingan mereka dalam
hal perhatian dari orang tua lawan jenis mereka. Freud mengatakan bahwa
perkembangan ini sebagai Oedipus dan Electra Complexes.
Dan umumnya
anak-anak ini menyelesaikan masalah kecemasan mereka dengan cara
mengidentifikasikan diri mereka dengan
orang tua yang berjenis kelamin yang sama dengan mereka, dengan kata lain
mereka meniru orang tua yang berjenis kelamin yang sama dengan mereka, dan
akhirnya berpindah ke tahap latency pada masa kanak-kanak tengah. Di tahap ini
seorang anak menahan dorongan-dorongan seksual serta mulai bersosialisasi dan
mengembangkan keterampilan hingga mempelajari diri mereka dan masyarakat. Pada
tahap akhir yaitu genital yang berlangsung pada masa remaja. Masa remaja inilah dorongan-dorongan seksual
yang dipendam selama masa latency muncul kembali dalam bentuk yang dapat diterima oleh masyarakat
karena memang manusiawi.
Freud telah
banyak memberikan kontribusi yang sangat penting dan valid yang di buktikan
melalui penelitian. Freud membuat kita sadar akan pentingnya berbagai pikiran,
perasaan, dan motivasi tidak sadar, peran berbagai pengalaman masa kanak-kanak
dalam pembentukan kepribadian, ambivalensi berbagai respon emosional, terutama
terhadap orang tua. Freud juga membuka mata kita bahwa bayi yang baru lahirpun
kita telah memiliki dorongan seksual, meskipun saat ini banyak para ahli yang
menolak teori Freud yang dinilai pembahasannya terlalu sempit pada dorongan
seksual dan agresif.
Kita perlu
mengingat bahwa teori Freud berkembang dalam sejarah dan masyarakat. Freud
mendasari berbagai teorinya mengenai perkembangan normal bukan pada suatu
populasi anak normal, tetapi pada kelompok klien terapinya yang datang dari
orang dewasa kelas menengah ke atas, kebanyakan perempuan. Fokusnya terhadap
pengaruh pengalaman emosiaonal dini tidak mempertimbangkan berbagai pengaruh
kepribadian yang lain dan selanjutnya, termasuk pengaruh masyarakat dan budaya,
yang ditekankan oleh banyak penerus tradisi Freudian, terutama Erikson.
· Erik H. Erikson ( Perkembangan
Psikososial)
Erik Erikson
(1902-1994), seorang ahli psikoanalisis
kelahiran jerman yang pada awalnya adalah seperjuangan dengan Freud di Wina,
memodifikasi dan mengembangkan teori Freud dengan cara menekankan pengaruh pada
masyarakat terhadap perkembangan kepribadian. Erikson juga merupakan pelopor
yang mengambil sudut pandang rentang kehidupan.
Dalam teorinya Freud mengatakan bahwa kepribadian seseorang itu dibentuk
secara permanen pada saat seseorang itu masih berada pada masa kanak-kanak
awal., dalam hal ini Erikson menentang, Erikson mengatakan bahwa ego berkembang sepanjang hayat
seseorang.
Teori
psikososial mencakup delapan tahapan sepanjang rentang hidup, yaitu :
1.
Basic Trust Versus Mistrus ( Dari awal
kelahiran sampai 12-18 bulan)
Bayi mengembangkan
kesadaran apakah dunia merupakan tempat yang baik dan aman. Kekuatan, harapan.
2.
Autonomy Versus Shame and Doubt (12-18
bulan sampai 3 tahun)
Seorang anak mulai mengembangkan
keseimbangan antara kemandirian serta kemampuan mencukupi kebutuhan dengan rasa
malu dan ragu. Kekuatan, kehendak.
3.
Initiative Versus Guilt (3 tahun sampai
6 tahun)
Seorang anak mulai
mengembangkan inisiatif ketika mencoba berbagai kegiatan baru dan tidak
diliputi rasa bersalah. Kekuatan, tujuan.
4.
Industry Versus Inferiority (6 tahun
sampai dengan pubertas)
Seorang anak diharuskan
belajar berbagai keterampilan budaya atau menghadapi berbagai perasaan tidak
mampu. Kekuatan, keterampilan.
5.
Identity Versus Idendity confusion (
pubertas sampai dengan dewasa awal)
Remaja mulai harus
mengenali siapa sebenarnya dirinya atau mulai mengalami kebingungan mengenal
berbagai peran. Kebajikan, kekuatan.
6.
Intimacy Versus Isolation (dewasa muda)
Berusaha membuat komitmen
dengan orang lain, jika mengalami kegagalan maka dia akan menderita
keterasingan dan hanya akan tertarik pada diri dan kegiatannya sendiri.
Kekuatan, cinta.
7.
Generativity Versus Stagnation ( dewasa
tengah)
Tahap ini adalah orang
yang telah menngalami kematangan yang mulai peduli dengan kemapanan dan
membimbing generasi berikutnya atau merasa lemah secara pribadi. Kekuatan,
kepedulian.
8.
Integrity Versus despair (dewasa akhir)
Lansia mencapai
penerimaa hidupnya sendiri, membuatnya
dapat menerima kematian atau akan putus asa atas ketidakmampuannya dalam
menghidupkan kembali kehidupan. Kekuatan, kebijaksanaan.
Masing-masing
tahapan melibatkan apa yang disebut Erikson sebagai suatu krisis dalam hal kepribadian. Pokok pikiran
psikososial yang terpenting pada masanya
dan akan tetap menjadi persoalan pada kadar tertentu sepanjang sisa hidupnya.
Persoalan-persoalan yang timbul ini harus segera diselesaikan secara memuaskan
supaya ego berkembang dengan
sehat.Tiap-tiap tahapan menuntut keseimbangan suatu kecenderungan positif dan
menyesuaikan dengan yang negatif.
Kualitas positif seharusnya merupakan hal yang paling penting,
tetapi kadar negatif juga terkadang
diperlukan. Tema kritis pada masa bayi, misalnya Basic trust versus basic mistrust,
kita perlu memercayai bahwa orang –orang
yang berada di dalamnya akan memiliki rasa ketidakpercayaan pada diri
mereka, namun rasa ketidakpercayaan ini juga dapat melindungi mereka dari
bahaya. Hasil pada masing-masing tahapan yang berhasil adalah perkembangan
kekuatan khusus, dalam hal ini kekuatan harapan.
Teori Erikson
lebih kuat dari pada teoru Freud, namun seperti teori Freud, ada beberapa teori
Erikson yang belum dapat di uji secara ketat.
b.
Perspektif 2: Pembelajaran
(Learning)
Para
teoritis aliran learning mempertahankan pendapat bahwa perkembangan merupakan
hasil pembelajaran, perubahan terus-menerus yang didasari oleh pemgalaman atau
merupakan adaptasi kepada lingkungan. Para teoretisi pembelajaran tertarik
untuk menemukan prinsip-prinsip objektif yang mengontrol perubahan dalam
perilaku yang dapat diobservasi dan dapat diaplikasikan secara setara kepada
seluruh kelompok umur.
Para
teoritikus pembelajaran telah membantu membuat studi perkembanan manusia
menjadi lebih ilmiah. Terminology mereka didefenisikan dengan akurat, dan
teori-teori mereka dapat diuji dalam laboratorium. Dengan menekankan pengaruh
lingkungan, mereka membantu menjelaskan perbedaan kultural dalam perilaku. Dua
teori utama aliran pembelajaran adalah behaviorism
dan social learning theory.
· Learning Theory 1: Behaviorism.
Behaviorisme
adalah teori mekanistik yang mendeskripsikan perilaku yang dapat diobservasi
sebagai respon terhadap pengalaman yang dapat diprediksi. Walaupun biologi
menetapkan batas yang berkenaan dengan apa yang dilakukan manusia, akan tetapi
para behavioris memandang lingkungan sebagai sesuatu yang memiliki pengaruh
yang lebih besar. Mereka yakin bahwa manusia di semua tingkatan usia
mempelajari dunia dengan cara yang sama yang dilakukan oleh organisme lain,
yaitu bereaksi terhadap kondisi atau aspek lingkungan dengan menemukan
kepuasan, kesedihan, atau ancaman. Behavioris mencari peristiwa yang menentukan
apakah perilaku tertentu akan berulang
atau tidak. Penelitian
behavioral fokus kepada pembelajaran asosiatif (associative learning), dimana
hubungan mental antara dua peristiwa terbentuk. Dua pembelajaran asosiatif
adalah classical conditioning dan operant conditioning.
Classical conditioning.
Ivan Pavlov (1849-1936), seorang psikolog Rusia, membuar sebuah percobaan di
mana seekor anjing akan beajar untuk mengeluarkan air liur ketika mendengan
suara lonceng yang biasa berbunyi untuk makan. Eksperimen ini merupakan dasar classical conditioning, dimana respons
(air liur) terhadap stimulus (lonceng) didapat setelah asosiasi berulang kepada
stimulus tersebut. Classical conditioning
adalah bentuk pembelajaran alami yang akan terjadi walaupun tanpa
intervensi. Dengan mempelajari peristiwa apa yang menyertai, seorang anak dapat
mengantisipasi apa yang akan terjadi, dan pengetahuan ini membuat dunia mereka
lebih teratur, suatu tempat yang dapat diprediksi.
Operant Conditioning. Seorang
bayi bernama Terrel berbaring dengan damai di boksnya. Ketika ia tersenyum,
ibunya mendatangi boksnya dan bermain dengannya. Kemudian ayahnya juga
melakukan hal yang sama. Ketika rangkaian ini berulang, Terrel belajar bahwa
perilakunya (tersenyum) dapat memproduksi tindakan yang diinginkannya
(perhatian dan sayang dari orang tua): dan karena itu dia tersenyum untuk
mendapatkan perhatian dari orang tuanya. Perilaku (tersenyum) yang asalnya tidak sengaja ini,
menjadi respons kondisional.
B.
F. Skinner (1904-1990), psikolog Amerika, yang memformulasikan pengkondisian
operan, paling sering melakukan penelitiannya dengan subjek tikus dan burung
dara, akan tetapi ia berpendapat bahwa prinsip yang sama dapat diaplikasikan
kepada manusia. Dia menemukan bahwa organisme cenderung mengulang kembali
respons yang dikuatkan dan menolak respons yang menghasilkan hukuman. Penguatan
(reinforcement) adalah konsekuensi perilaku yang meningkatkan
kecenderungan pengulangan perilaku tersebut; dalam kasus Terrel, perilakunya
menguatkannya untuk tersenyum. Hukuman (punishment)
adalah konsekuensi perilaku yang menurunkan kecenderungan untuk
melakukannya lagi.
Penguatan
dapat bersifat negative atau positif. Penguatan positif (positive reinforcement) terdiri dari pemberian hadiah. Penguatan negative (negative reinforcement) terdiri dari pengambilan sesuatu yang
tidak disukai oleh individu (dikenal dengan peristiwa aversif ; peristiwa yang
tidak dikehendaki). Terkadang penguatan negatif sering disamakan dengan hukuman
(punishment). Kedua hal tersebut
berbeda .Hukuman, menekan perilaku dengan memunculkan peristiwa aversif (aversive event) , atau dengan menarik
persitiwa positif . Penguatan negative memotivasi perulangan perilaku dengan
menanggalkan peristiwa aversif. Ketika seorang batita (toddler) melaporkan kepada orangtuanya bahwa ia telah mengotori popoknya
saat berada dalam proses toilet training, pelepasan popok yang berbau dan
lengket tersebut akan memotivasi si anak untuk kembali memberikan sinyal ketika
“kecelakaan” tersebut terjadi lagi .
Modifikasi
perilaku, atau terapi perilaku adalah penggunaan pengkondisian untuk mengubah
perilaku secara gradual. Teknik tersebut dapat mengurangi frekuensi emosional
anak dan meningkatkn penerimaan terhadap perilaku pengganti. Teknik ini efektif
bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus seperti autisme, dan dengan orang-orang
yang memiliki gangguan makan.
· Learning Theory 2: Teori
Pembelajaran Sosial (Social Learning Theory).
Adalah Albert
Bandura, seorang psikolog Amerika yang lahir pada 1925, yang mengembangkan
banyak prinsip teori pembelajaran sosial.
Ketika para behaviouris melihat lingkungan sebagai motif utama pertumbuhan
,pembelajaran sosial atau kognisi sosial (Bandura1977, 1989) percaya bahwa
dorongan utama perkembangan bersumber dari orang.
Pembelajaran
sosial klasik menyatakan bahwa orang-orang belajar perilaku sosial yang sesuai
dengan mengobservasi dan mengimitasi model- yang mereka lakukan dengan melihat
orang lain. Proses
ini dikenal dengan istilah modeling,
atau pembelajaran observasional. Orang-orang memulai atau melanjutkan pelajaran
mereka dengan memilih model yang akan ditiru.
Teori
pembelajaran terbaru Bandura (1989) disebut dengan kognitif sosial. Perubahan
dari satu nama ke nama lain ini merefleksikan meningkatnya penekanan
Banduranatas respon kognitif terhadap persepsi sebagai sesuatu yang mendasar
dalam perkembangan. Proses kognitif terjadi saat seseorang mengamati sosok
model, mempelajari “chunks” dari perilaku, dan secara mental menyatukan
kepingan-kepingan tersebut ke dalam sebuah perlaku baru yang kompleks. Rita
misalnya, mengimitasi teknik berjalan jinjit dari guru tarinya, tetapi
mengikuti langkah-langkah tarian si Charmen, salah seorang murid senior.
Walaupun demikian, dia mengembangkan gaya tariannya sendiri dengan mengolah
semua hasil pengamatan menjadi pola baru dalam menari.
Melalui
umpan balik atas perilaku mereka, secara
gradual anak-anak membentuk standar untuk menilai tindakan mereka
sendiri dan menjadi lebih selektif dalam memilih model yang mengilustrasikan
standar tersebut. Mereka juga mulai mengembangkan rasa self-efficacy (kecapakan diri), atau kepercayaan diri bahwa mereka
memiliki karakter yang dibutuhkan untuk sukses.
c.
Perspektif
3 : Kognitif
Perspektif
kognitif fokus kepada proses pemikiran dan perilaku yang mencerminkan proses
tersebut. Perspektif ini mencangkup teori pengaruh organismik dan mekanistik.
Perspektif ini mencakup teori tahapan kognitif Piaget, pendekatan pemrosesan informasi
terbaru, dan teori neo-Piagetian mencakup usaha kontemporer untuk
mengaplikasikan temuan-temuan dari penelitian otak dalam usaha memahami proses
kognitif.
·
Teori
Tahapan Kognitif - Jean Piaget.
Sebagian besar pengetahuan kita tentang cara berpikir anak bersumber dari
teoritikus Swiss, Jean Piaget (1896-1980). Teori Piaget merupakan akar revolusi
kognitif saat ini yang menekankan pada proses mental. Piaget mengambil
perspektif organismik, yang memandang perkembangan kognitif sebagai produk
usaha anak untuk memahami dan bertindak dalam dunia mereka.
Metode
klinis Piaget mengkombinasikan observasi dengan pertanyaan fleksibel. Untuk
menemukan cara berpikir. Piaget yakin bahwa perkembangan kognitif dimulai
dengan kemampuan bawaan untuk beradaptasi dengan lingkungan. Piaget
menggambarkan perkembangan kognitif dalam enam tahap yang berbeda secara
kualitatif, yang memepersentasikan pola universal perkembangan. Pada tiap
tahapan, pikiran anak mengembangkan cara berpikir baru. Dari bayi hingga
remaja, fungsi mental berkemban dari pembelajaran berbasis sensorik sederhana
serta aktivitas mototik kepada pemikiran yang abstrak dan logis. Pertumbuhan
kognitif terjadi melalui tiga proses yang saling berhubungan: prganisasi,
adaptasi, dan ekuilibrasi.
Organisasi adalah kecenderungan untuk membuat
struktur kognitif yang semakin kompleks: system pengetahuan atau cara berpikir
yang disertai dengan pencitraan realitas yang semakin akurat. Struktur-struktur
ini disebut dengan “skema”, adalah pola perilaku terorganisai yang digunakan
oleh seseorang untuk memikirkan dan melakukan tindakan dalam situasi tertentu.
Ketika seseorang membutuhkan lebih banyak informasi, maka skemanya akan semakin
kompleks.
Adaptasi
merupakan istilah Piaget untuk cara anak memperlakukan informasi baru dengan
mempertimbangkan apa yang telah mereka ketahui. Adaptasi meliputi dua langkah:
1. Asimilasi,
mengambil informasi baru dan menyertakannya dalam struktur kognitif yang telah
ada.
2. Akomodasi,
mengubah struktur kognitif seseorang dalam rangka memasukkan informasi baru.
Ekuilibrasi
adalah usaha konstan untuk mendapatkan kestabilan atau ekuilibrium, menghendaki
perpindahan dari asimilasi ke akomodasi. Ketika seorang anak tidak dapat
menangani informasi baru dalam struktur kognitif yang telah ada, dan karena itu
akan terjadi disekulibrium-ketidak seimbangan, mereka akan mengorganisasi pola
mental baru yang mengintegrasikan pengalaman baru, dan mengembalikan tingkat
ekuilibrium yang lebih dapat diterima.
· Information – Processing Approach
(Pendekatan Pemrosesan Informasi)
Pendekatan
pemrosesan informasi terbaru mencoba untuk menjelaskan perkembangan kognitif
dengan menganalisis proses yang melibatkan penerimaan dan penanganan informasi,
yang mendasari banyak teori dan penelitian. Pendekatan ini memiliki aplikasi
praktis. Pendekatan tersebut memungkinkan para penliti untuk memperkirakan
kecerdasan bayi di masa yang akan datang dari efesiensi persepsi dan pemrosesan
sensoris. Para psikolog dapat menggunakan pendekatan ini untuk melakukan tes,
diagnosis, dan penanganan masalah belajar.
· Computer-Based Model
Para
peneliti pendekatan pemrosesan informasi berusaha menarik kesimpulan dari apa
yang terjadi secara stimulus dan respons.
Para peneliti telah mengembangkan model komputasi (computation model) atau diagram alir (flow chart) yang
menganalisis tahapan yang digunakan oleh individu untuk menguumpulkan,
menyimpan, memanggil kembali, dan menggunakan informasi.
·
Teori
Neo-Piagetian.
Pada 1980-an,
sebagai respon kritik terhadap teori Piaget, psikolog perkembangan
neo-Piagetian mulai mengintegrasikan beberapa elemen dari teorinya dengan
pendekatan pemrosesan informasi. Neo-Piagetian memfokuskan diri pada konsep,
strategi, dan ketrampilan tertentu seperti konsep nomor dan perbandingan antara
“kurang” dan “lebih”. Mereka percaya bahwa anak-anak berkembang secara kognitif
dengan cara menjadi lebih efisien dalam memproses informasi.
Karena
penekanannya terhadap efesiensi pemrosesan informasi. Pendekatan neo-Piagetian
membantu menjelaskan perbedaan individual dalam kemapuan kognitif dan
perkembangan yang terhambat dalam berbagai ranah.
· Cognitive neuroscience (Pendekatan
Neurosains Kognitif)
Pada
sebagai besar sejara psikologi, teoritikus dan peneliti mempelajari proses
kognitif terlepas dari stuktur fisik
otak, tempat proses tersebut terjadi. Sekarang instrument yang canggih membuat
kerja otak menjadi mungkin untuk dilihat. Para pendukung pendekatan neurisains
kognitif berpendapat bahwa pemahaman tentang fungsi kognitif (dan emosional)
yang akurat harus dikaitkan dengan apa yang terjadi dalam otak. Perkembangan ini
menjelaskan bagaimana pertumbuhan kognitif dapat terjadi ketika otak
berinteraksi dengan lingkungan. Perkembangan tersebut juga dapat membantu kita
memahami mengapa ada orang yang tidak dapat berkembang dengan normal di usia
dewasa.
Social
cognitive neuroscience (neurosains
sosial-kognitif)
adalah multidisiplin yang menjembatani otak, pikiran dan perilaku,
mengumpulkan data dari ilmuan kognitif neurosains, psikologi sosial, dan
pendekatan pemrosesan informasi. Para akar neurosains sosial-kognitif
menggunakan pencitraan otak dan orang-orang
yang menderita kerusakan otak untuk mengetahui bagaimana jalur saraf
mengontrol proses seperti ingatan dan
pada gilirannya akan mempengaruhi sikap dan emosi.
d.
Perspektif
4 : Evolusioner/sosiobiologis
Sudut
pandang evolusioner/sosiobiologis ( evolusionary/sociobiological perspective)
yang di ajukan oleh E. O. Wilson (1975) mencakup prilaku sosial berdasarkan
evolusioner dan biologis. Sudut pandang ini , berfokus untuk melihat lebih jauh
lagi prilaku terhadap fungsinya dalam mendukung kelompok atau spesies untuk
dapat bertahan hidup. Sudut pandang ini juga dipengaruhi oleh teori evolusi
darwin. Menurut darwin, semua spesies hewan telah berkembang melalui berbagai
proses yang berkaitan dengan yang paling bisa beradaptasi dialah yang dapat
bertahan hidup (survivel of the fittest) dan seleksi alam (natural selection).
Dengan kata lain, individu yang dapat mudah beradaptasi dengan lingkungan akan
lebih bertahan untuk hidup sedangkan yang kurang beradaptasi justru akan lebih
sulit untuk dapat bertahan hidup alias punah.
Etologi (ethology)
merupakan sebuah istilah yang mengkaji mengenai berbagai prilaku adaptif yang
berbeda pada spesies hewan. Psikolog berkebangsaan inggris, john Bowlby,
menerapkan prinsip-prinsip etologi pada perkembangan manusia, ia memandang Kelekatan/kedekatan bayi pada pengasuhnya
adalah sebagai prilaku yang berkembang untuk mendukung keangsungan hidupnya
kelak.
Psikologi Evolusioner
(evolutionary psychology) menerapkan berbagai prinsip darwin pada prilaku
individual. Menurut teori ini, manusia secara tidak sadar berjuang tidak hanya
untuk kehidupan pribadinya, melainkan melestarikan warisan genetik mereka.
Psikolog
perkembangan evolusioner berusaha mengidentifikasi perilaku-perilaku yang adaptif
pada usia yang berbeda-beda, misalnya bayi sangat membutuhkan dekat dengan
orang tuanya, sedangkan anak yang mulai dewasa akan lebih suka dibiarkan
mengekplorasi, agar dapat lebih mandiri.
e.
Perspektif
5 : Kontekstual
Menurut sudut pandang ini (contextual
perspective), perkembangan harus di pahami dalam konteks sosialnya. Kaum
kontekstual melihat individu bukan sebagai entitas terpisah yang berinteraksi
dengan lingkungan, tetapi justru merupakan bagian yang tidak terpisah dari
lingkungan.
Teori Bioekologi (bioecological theory)
merupakan pendekatan Bronfenbrenner untuk memahami berbagai proses dan konteks
perkembangan pada manusia. Untuk memahami berbagai proses ini, kita harus
mempelajari banyak konteks dimana mereka muncul, dengan memperhatikan konteks
yang saling terkait, serta berbagai pengaruh terhadap perkembangan, teori
Bronfenbrenner memberikan sebuah pemahaman penting pada berbagai proses yang
mendasari gejala yang beragam, seperti prilaku antisosial dan prestasi
akademik. Bronfenbrenner mengidentifiasi lima sistem kontekstual yang saling
berkaitan, mulai di yang paling dekat sampai yang paling luas cakupannya, yaitu
: Mikrosistem, Mesosistem, Eksosistem, Makrosistem, dan Kronosistem. Yang perlu diingat adalah bahwa batas-batas
antar sistem dapat berubah-ubah, meskipun kita memisahkan berbagai tingkatan
pengaruh untuk tujuan ilustrasi, pada kenyataannya hal-hal tersebut akan terus
menerus berinteraksi.
Untuk
lebih paham, kita akan mengkaji satu persatu dari kelima sistem kontekstual
yang saling berkaitan menurut Bronferbrenner, yang pertama adalah :
1.
Mikrosistem (Microsytem) yang merupakan
sebuah pola interaksi seperti kegitan, peran, dan hubungan dalam sebuah
lingkungan seperti rumah, sekolah, tempat kerja, atau lingkungan tempat tinggal
dengan kata lain menekankan mengenai interaksi sehari-hari dan bertatap muka
dengan orang lain. Mempelajari mikrosistem dapat memberi pencerahan, melalui
mikrosistem, pengaruh-pengaruh yang lebih jauh, seperti lembaga-lembaga sosial
dan nilai-nilai budaya, dapat membantu orang berkembang.
2.
Mesosistem ( mesosystem) merupakan
interaksi dua atau lebih mikrosistem yang mengendalikan orang yang berkembang.
Perhatian pada mesosistem dapat memberitahu kita mengenai berbagai perbedaan
dalam cara-cara orang yang sama bertindak pada lingkungan yang berbeda. Sebagai
contoh, ada seorang anak yang sangat aktif, dan mudah bergaul alias senang
berteman, tetapi di rumah justru menjadi lebih pendiam dan suka melamun.
3.
Eksosistem (Exosystem) hampir sama
seperti mesosistem, yang terdiri atas kaitan antara dua tau lebih lingkungan.
Namun demikian, terdapat perbedaan antara mesosistem dan eksosistem, yaitu pada
salah satu lingkungan, seperti tempat kerja orang tua atau jaringan kerja
sosial orang tua, tidak mengendalikan orang yang berkembang, jika demikian,
akan mempengaruhi secara tidak langsung.
4.
Makrosistem (macrosystem) terdiri atas
keseluruhan pola budaya suatu masyarakat, maksudnya secara tidak langsung
kebiasaan, atau keyakinan-keyakinan terdaulu akan dilakukan dan diwariskan
secara turun temurun.
5.
Kronosistem (Chronosystem) mempengaruhi
kadar stabilitas atau perubahan dalam dunia seseorang. Hal ini dapat mencakup perubahan-perubahan
dalam komposisi leluarga, tempat tinggal,
atau pekerjaan orang tua, serta peristiwa-peristiwa yang lebih besar. Berbagai
perubahan dalam pola keluarga merupakan baerbagai faktor kronosistem.
Menurut
Bronfenbrenner, seseorang bukanlah hanya sekedar hasil perkembangan, tetapi
juga merupakan pembentuk perkembangan. Manusia membentuk perkembangannya
sendiri melalui karakteristik biologis dan psikologis, bakat dan keterampilan,
ketidakmampuan dan tempramen.
Kontribusi utama sudut pandang kontekstual adalah penekanannya pada komponen
sosial dari perkembangan. Sudut pandang kontekstual mengingatkan kita bahwa
hasil-hasil penelitian mengenai perkembangan manusia (human Depelopment) dalam
suatu budaya atau kelompok pada suatu budayabisa jadi tidak berlaku sama pada
mereka yang berada dalam masyarakat atau kelompok budaya lain.
Bagan 5 Sistem Kontekstual
D.
Bagaimana
Teori dan Penelitian Bekerja Bersama-sama
Pada dasarnya tidak ada satu pun teori
perkembangan manusia yang diterima secara universal, dan tidak ada satupun
sudut pandang teoritis yang menjelaskan seluruh aspek perkembangan. Berbagai
teori perkembangan tumbuh dan diuji oleh penelitian. Meskipun kebanyakan
peneliti ekletik, mengambil kesimpulan dari berbagai susut pandang teoritis, pertanyaan
penelitian dan metode terkadang mencerminkan orientasi teoritis tertentu pada
peneliti. Dalam upaya memahami bagaimana anak mengembangkan kesadaran mengenai
hal yang benar dan hal yang salah, seorang penganut behaviorisme akan menelaah
cara orang tua memberikan respons terhadap prilaku anak, bentuk prilaku apa
saja yang mereka hukum atau puji. Seorang ahli teori pembelajaran sosial akan
memusatkan pada imitasi keteladanan moral, mungkin dalam cerita atau film.
Seorang peneliti yang menganut pandangan pemprosesan informasi mungkin
melakukan analisis tugas untuk mengidentifikasi berbagai langkah yang dilalui
seorang anak dalam menentukan cakupan pilihan moral yang tersedia dan kemudian
menentukan sendiri pilihan mana yang dikejar.
DAFTAR PUSTAKA
Diane
E. Papalia, et.al.Human Development
(Psikologi Perkembangan) Penerbit Kencana Prenada Media Group. Jakarta.
2008
Papalia,
Diane E. 2007. Human Development, Tenth
Edition. McGraw-Hill: New York.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar