PSIKOSOSIAL
(Part 1)
D
I
S
U
S
U
N
Oleh :
R M AFIF HANDRI NABAWI (12-010)
RISKA ANDANI SIMARGOLANG (12-012)
CATHERIN
FEBRIYANTY (12-036)
SANTHA
REBECCA (12-106)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
FAKULTAS PSIKOLOGI
2013
KATA PENGANTAR
Dengan mengucap rasa
syukur Alhamdulillah berkat rahmat Allah SWT dapat menyelesaikan makalah ini.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas Presentase dan pembuatan makalah dalam
mata kuliah Psikologi Umum 2. Dalam penyusunan makalah ini, tidak sedikit
hambatan yang kami hadapi, namun dengan semangat dan rasa tanggung jawab, kami
akhirnya dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam kesempatan ini,
kami menyampaikan rasa terimakasih kepada dosen mata kuliah Psikologi Umum 2 ibu
Ika sari Dewi, M. Psi yang telah membantu mengarahkan dan memberi tugas penyusunan
makalah ini.
Kami menyadari bahwa
penyusunan makalah ini masih jauh dari sempurna, sehingga kami mengharap kritik
dan saran yang membangun agar kami dapat lebih baik lagi dalam mengerjakan makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan yang
membutuhkan. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam pembuatan makalah ini.
Medan, 29 Juni
2013
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.......................................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang................................................................................. 1
B.
Masalah............................................................................................ 1
C.
Tujuan .............................................................................................. 1
D.
Studi
Kasus
..................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN
A.
Definisi............................................................................................. 3
B.
Persepsi
............................................................................................ 3
C.
Atribusi............................................................................................. 4
D.
Attitudes dan Persuasi....................................................................... 9
E.
Prejudice dan Stereotype.................................................................. 16
F.
Kelompok
dan pengaruh sosial........................................................ 19
BAB III PENUTUP
A.
Kesimpulan....................................................................................... 28
B.
Saran................................................................................................. 28
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Diri pribadi adalah suatu ukuran atau kualitas yang memungkinkan seseorang
untuk dianggap dan dikenali sebagai individu yang berbeda dengan individu
lainnya. Kualitas yang membuat seseorang yang memiliki kekhasan tersendiri
sebagai manusia, tumbuh dan berkembangnya melalui interaksi sosial, yaitu
berkomunikasi dengan orang lain. Individu tidak dilahirkan dengan membawa
kepribadian. Seperti halnya diri fisik kita, maka diri sosial dan diri
psikologis manusia akan terus berkembang dan menjadi matang sejalan dengan usia
hidup kita.
Pengalaman dalam kehidupan
akan membentuk diri pribadi setiap manusia, tetapi setiap orang juga harus
menyadari apa yang sedang terjadi dan apa yang telah terjadi pada dirinya.
Kesadaran terhadap diri pribadi ini pada dasarnya adalah suatu proses persepsi
yang ditujukan pada dirinya sendiri. Dalam hal ini orang akan berusaha untuk
mengenali dan memahami siapa dirinya.
B. MASALAH ATAU TOPIK BAHASAN
Masalah yang
akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai Psikososial part 1 yang terdiri dari beberapa
sub bab yang meliputi Defenisi, Persepsi, Attribusi, Sikap dan Persuasi, serta
mengenai Kelompok dan pengaruh sosialnya.
C. TUJUAN
Makalah ini dibuat
dengan tujuan untuk memenuhi tugas presentase dan agar kita bisa memahami lebih
dalam tentang konsep dasar Psikososial part 1.
D.
STUDI KASUS
Lawrence
Graham, ingin mendapatkan sebuah pekerjaan. Ia adalah seorang African American
(orang berkulit hitam). Ia telah menghubungi beberapa country club untuk
melamar sebagai waiter, namun secara mengherankan setiap di interview dia
selalu
ditolak dengan alasan yang tidak
bisa diterima.
Pada akhirnya Lawrence mendapatkan
sebuah pekerjaan di country club, namun ia tidak menjadi pelayan melainkan
pembantu di suatu country club. Hal ini membuat Lawrence bisa mendengar
beberapa percakapan ‘internal’ dari country club tersebut. Apa yang terjadi?
Ternyata bos si Lawrence terkejut mendengar tutur kata dan perilaku Lawrence.
Usut
punya Usut, ternyata Lawrence adalah seorang lulusan sarjana hukum di Harvard
Law University dan ingin meneliti mengapa sebagian besar country club
memperlakukan kulit hitam secara berbeda. Hal ini menunjukkan ada stereotype
dan diskriminasi pada ras.
BAB II
PEMBAHASAN
A. DEFINISI
Psikologi sosial adalah suatu studi tentang hubungan
antara manusia dan kelompok. Para ahli dalam bidang interdisipliner ini pada umumnya adalah para
ahli psikologi atau sosiologi, walaupun semua ahli psikologi
sosial menggunakan baik individu maupun kelompok sebagai unit analisis mereka.
Psikologi sosial sempat dianggap tidak memiliki
peranan penting, tapi kini hal itu mulai berubah. Dalam psikologi modern,
psikologi sosial mendapat posisi yang penting. Psikologi sosial telah
memberikan pencerahan bagaimana pikiran manusia berfungsi dan memperkaya jiwa
dari masyarakat kita. Melalui berbagai penelitian laboratorium dan lapangan
yang dilakukan secara sistematis, para psikolog sosial telah menunjukkan bahwa
untuk dapat memahami perilaku manusia, kita harus mengenali bagaimana peranan
situasi, permasalahan, dan budaya.
Walaupun terdapat banyak kesamaan, para ahli riset
dalam bidang psikologi dan sosiologi cenderung memiliki perbedaan dalam hal
tujuan, pendekatan, metode dan terminologi mereka. Mereka juga lebih
menyukai jurnal akademik danmasyarakat profesional yang
berbeda. Periode kolaborasi yang paling utama antara para ahli sosiologi dan
psikologi berlangsung pada tahun-tahun tak lama setelah Perang Dunia
II. Walaupun ada peningkatan dalam hal isolasi dan spesialisasi dalam
beberapa tahun terakhir, hingga tingkat tertentu masih terdapat tumpang tindih
dan pengaruh di antara kedua disiplin ilmu tersebut.
B.
PERSEPSI
INDIVIDU (PERSON PERCEPTIONS)
Persepsi individu adalah proses yang
terjadi ketika individu melihat individu yang lain dan memulai kesan pertama
serta membuat penilaian (judgement)
mengenai kecendrungan dan tipe individu tersebut. Misalnya: Niat, sifat dan sikap, tingkah laku.
Ketika individu membentuk kesan pertama, ada 4 hal
yang secara bersamaan mempengaruhi penilaian seseorang:
- Penampilan fisik (physical appearance)
Kesan pertama sangat dipengaruhi oleh
bagaimana penampilan individu dan ini menghasilkan penilaian yang cenderung
bias.
- Kebutuhan untuk menjelaskan (need to explain)
Individu cenderung menilai
individu yang lain tidak hanya dengan melihat atau mengobservasi namun juga
kenapa mereka berpenampilan atau berperilaku seperti itu.
- Pengaruh pada perilaku (influence on behavior)
Kesan pertama akan mempengaruhi bagaimana individu
akan berinteraksi atau memperlakukan individu lain setelah kesan pertamanya
- Efek dari Ras (effects of race)
Peneliti menemukan bahwa anggota dari sebuah ras
umumnya mengenali wajah ras mereka sendiri lebih akurat daripada ras lain
(Ferguson et all, 2001). Artinya adalah individu mungkin merasa individu lain
yang memiliki ras yang berbeda adalah bias atau berbeda/distorted dari ras miliknya. Hal ini akan mempengaruh ‘racial
attitude’ atau perilaku pada ras tertentu..
C. ATRIBUSI
Teori Atribusi adalah teori yang menyatakan bahwa seseorang
termotivasi untuk menjelaskan perilaku mereka sendiri dan orang lain
berdasarkan pada 2 kategori faktor, yaitu faktor situasi ataupun faktor disposisi.
Attribusi penting untuk
dipelajari dalam pembahasan psikologi sosial karena hal ini dapat menerangkan
pada kita bagaimana seseorang menjelaskan suatu prilaku. Dengan mempelajari
Attribusi, kita juga dapat melihat bias-bias yang terjadi ketika seseorang
menjelaskan prilaku orang lain, yang kemudian, pada gilirannya mempengaruhi
perilaku mereka sendiri.
Penelitian tentang atribusi di Amerika Serikat terpusat pada
beberapa isi, salah satunya terkait dengan tipe atau jenis atribusi yang dibuat
orang, terutama dalam kaitannya dengan sumber atau lokus attribusi kausalitas
mereka. Menurut Myers (1996), kecenderungan memberi atribusi
disebabkan oleh kecenderungan manusia untuk menjelaskan segala sesuatu,
termasuk apa yang ada dibalik perilaku orang lain.
Kajian tentang atribusi pada awalnya dilakukan oleh
Frizt Heider (1958). Menurut Heider, setiap individu pada dasarnya adalah
seseorang ilmuwan semu (pseudo scientist)
yang berusaha untuk mengerti tingkah laku orang lain dengan mengumpulkan dan
memadukan potongan-potongan informasi sampai mereka tiba pada sebuah penjelasan
masuk akal tentang sebab-sebab orang lain bertingkah laku tertentu.
Dengan kata lain seseorang itu selalu berusaha untuk
mencari sebab mengapa seseorang berbuat dengan cara-cara tertentu. Misalkan
kita melihat ada seseorang melakukan pencurian. Sebagai manusia kita ingin
mengetahui penyebab kenapa dia sampai berbuat demikian.
Dua
fokus perhatian di dalam mencari penyebab suatu kejadian, yakni sesuatu di
dalam diri atau sesuatu di luar diri. Apakah orang tersebut melakukan pencurian
karena sifat dirinya yang memang suka mencuri, ataukah karena faktor di luar
dirinya, dia mencuri karena dipaksa situasi, misalnya karena dia harus punya
uang untuk membiayai pengobatan anaknya yang sakit keras. Bila kita
melihat/menyimpulkan bahwa seseorang itu melakukan suatu tindakan karena
sifat-sifat kepribadiannya (suka mencuri) maka kita telah melakukan atribusi
internal (internal attribution). Tetapi jika kita melihat atau
menyimpulkan bahwa tindakan yang dilakukan oleh seseorang dikarenakan oleh
tekanan situasi tertentu (misalnya mencuri untuk membeli obat) maka kita
melakukan atribusi eksternal (external attribution).
Proses atribusi telah menarik perhatian para pakar
psikologi sosial dan telah menjadi objek penelitian yang cukup intensif dalam
beberapa dekade terakhir. Cikal bakal teori atribusi berkembang dari tulisan
Fritz Heider (1958) yang berjudul “Psychology
of Interpersonal relations). Dalam tulisan tersebut Heider menggambarkan apa
yang disebutnya “native theory of action”,
yaitu kerangka kerja konseptual yang digunakan orang untuk menafsirkan,
menjelaskan, dan meramalkan tingkah laku seseorang. Dalam kerangka kerja ini,
konsep intensional (seperti keyakinan, hasrat, niat, keinginan untuk mencoba
dan tujuan) memainkan peran penting.
Menurut Heider ada dua sumber atribusi tingkah laku:
(1). Atribusi
internal atau atribusi disposisional.
(2). Atribusi eksternal atau atribusi lingkungan.
Pada atribusi
internal kita menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh
sifat-sifat atau disposisi (unsur psikologis yang mendahului tingkah laku).
Pada atribusi eksternal kita
menyimpulkan bahwa tingkah laku seseorang disebabkan oleh situasi tempat atau
lingkungan orang itu berada, dua teori yang paling menonjol dari segi konsep
dan penelitian, yaitu teori inferensi terkait (correspondence inference) dari
Jones dan Davis (1965) dan teori ko-variasi Kelley (Kelly’s covarioance Theory)
yang dirumuskan oleh Harlod Kelley (1972). Sedang menurut buku pengantar
psikologi lintas budaya karangan David Matsumoto, Salah satu konsep
popular dalam penelitian atrribusi, sebagai contoh, adanya pembedaan antara
atribusi internal dan eksternal. Atibusi
internal adalah atribusi yang memandang bahwa penyebab prilaku ada dalam
diri pelakunya; atribusi eksternal
adalah atribusi yang memandang penyebab prilaku berada diluar diri seseorang.
Atribusi sudah banyak diteliti dalam situasi-stuasi
prestatif, mulai dari setting akademik sampai konteks olahraga dan pekerjaan. Penelitian-penelitan
ini, pada gilirannya, membauhkan beberapa teori utama tentang atribusi. Penelitian tentang bias
atribusi- kecenderungan untuk menarik tipe-tipe atribusi tertentu meski tidak
didukung bukti – telah menghasilkan beberapa konsep yang popular dalam
psikologi sosial, seperti kesalahan atribusi mendasar (fundamental
attribution error), atribusi defensif, dan bias yang menguntungkan diri (
self – serving bias).
Bias-bias
dalam attribusi
Ini adalah kecenderungan untuk melebih-lebihkan pengaruh disposisi pada
perilaku orang lain. Anda cenderung untuk menganggap bahwa perilaku orang
lain disebabkan oleh sikap, kepribadian, perasaan, emosi, kemampuan, kesehatan,
keinginan, niat, kesukaan, dan usaha. Anda kurang memperhatikan situasi dimana
perilaku itu timbul.
Bagaimana bias ini terjadi? Ini disebabkan setidaknya 3 hal. Pertama, pada saat Anda melihat sebuah perilaku, otomatis Anda akan berfokus pada orangnya dan disposisinya daripada situasi yang relatif stabil atau tetap. Misalnya pada saat Anda melihat seseorang senyum-senyum, maka Anda akan cenderung melihatnya sedang senang hati. Lalu orang mau pergi ke pasar rakyat (pasar rakyat sama dimana-mana), karena dia dianggap memang suka pergi ke sana. Kedua, Anda tidak memiliki cukup informasi mengenai situasinya. Misalnya Anda melihat teman Anda menangis. Anda tidak tahu situasinya seperti apa. Nah oleh sebab itu Anda akan melihat teman Anda menangis disebabkan karena dirinya mudah menangis. Ketiga, proses atribusi terdiri dari dua tahap. Mula-mula dengan cepat melihat faktor disposisi, lalu mengoreksi setelah melihat adanya faktor situasi. Nah, orang cenderung tidak mau berpayah-payah melihat faktor situasinya.
Bagaimana bias ini terjadi? Ini disebabkan setidaknya 3 hal. Pertama, pada saat Anda melihat sebuah perilaku, otomatis Anda akan berfokus pada orangnya dan disposisinya daripada situasi yang relatif stabil atau tetap. Misalnya pada saat Anda melihat seseorang senyum-senyum, maka Anda akan cenderung melihatnya sedang senang hati. Lalu orang mau pergi ke pasar rakyat (pasar rakyat sama dimana-mana), karena dia dianggap memang suka pergi ke sana. Kedua, Anda tidak memiliki cukup informasi mengenai situasinya. Misalnya Anda melihat teman Anda menangis. Anda tidak tahu situasinya seperti apa. Nah oleh sebab itu Anda akan melihat teman Anda menangis disebabkan karena dirinya mudah menangis. Ketiga, proses atribusi terdiri dari dua tahap. Mula-mula dengan cepat melihat faktor disposisi, lalu mengoreksi setelah melihat adanya faktor situasi. Nah, orang cenderung tidak mau berpayah-payah melihat faktor situasinya.
Efek Pelaku Pengamat.
Ini adalah bias dimana orang yang berperilaku (pelaku) memiliki kecenderungan untuk menekankan pengaruh situasional sebagai sebab perilakunya, dan yang melihat perilaku itu (pengamat) cenderung menekankan pengaruh disposisional. Misalnya Anda memakai pakaian yang mencolok. Maka Anda akan mengatakan bahwa Anda hanya menyesuaikan diri dengan tren. Adapun orang lain melihat Anda memang norak.
Bias menghibur diri (self-serving bias) dab menghakimi diri (self
defeating)
Bias menghibur diri (self serving bias) adalah kecenderungan seseorang untuk menganggap hal-hal positif diakibatkan karena dirinya sendiri (disposisinya) dan hal-hal negatif disebabkan oleh orang lain (situasinya). Misalnya Anda berhasil menyelesaikan ujian dengan gemilang, maka Anda akan menganggap bahwa keberhasilan itu karena Anda memang cerdas dan berkemampuan tinggi. Sebaliknya jika Anda gagal lulus ujian, maka Anda menganggap karena soalnya terlalu sulit dan tidak pernah diajarkan. Pendek kata, orang lain dituduh bertanggung Jawab atas kegagalan Anda.
Bias ini mengurangi rasa tanggung Jawab Anda atas suatu peristiwa negatif yang terjadi. Oleh sebab itu Anda tidak akan terlalu menyalahkan diri. Sebaliknya jika ada peristiwa positif, Anda merasa cukup mampu melakukan sesuatu sehingga menambah rasa percaya diri Anda.
Menghakimi diri (self defeating) adalah kebalikan dari bias menghibur diri (self serving bias). Seseorang justru cenderung menganggap sebab dari perilaku positif berasal dari situasi dan sebab perilaku negatif dari disposisi. Jika lulus ujian, maka dianggap soalnya terlalu mudah, nilai ditambahi oleh penilai, sedang beruntung. Jika gagal ujian dianggap karena bodoh. Biasanya orang depresi mental melakukan penghakiman diri atau self defeating ini.
Menyalahkan diri (self-blame)
Menyalahkan diri (self blame) adalah kecenderungan seseorang untuk secara berlebihan menyalahkan diri sendiri, terutama bila mengalami kegagalan. Mungkin Anda sering menemui orang seperti ini. Apapun kejadiannya, selalu diri sendiri disalahkan. Ada teman sedih, menyalahkan diri sendiri tidak mampu menyenangkan hati sang teman. Suami gagal dalam usahanya, menyalahkan diri sendiri tidak cukup banyak membantunya.
Efek relevansi dengan keuntungan pribadi (hedonic relevance)
Ini adalah kecenderungan seseorang untuk menilai lebih positif perilaku orang lain yang menguntungkan dirinya pribadi, dan menilai lebih negatif perilaku yang merugikan dirinya. Misalnya teman Anda mencuri buah di kebun tetangga. Jika Anda mendapat bagian buah curian (positif bagi Anda), maka Anda cenderung menganggapnya melakukan pencurian hanya untuk senang-senang saja. Sebaliknya jika Anda tidak mendapat bagian (negatif bagi Anda), maka Anda menganggap teman Anda berjiwa maling.
Bias Egosentris.
Ini adalah kecenderungan seseorang untuk menilai orang dengan menggunakan diri sendiri sebagai referensi, alias beranggapan orang lain juga melakukan hal yang sama. Misalnya Anda membaca buku karena mengisi waktu luang. Maka Anda menganggap orang lain membaca buku juga untuk mengisi waktu luang. Padahal boleh jadi tugasnya menuntut untuk membaca buku.
Atribusi dan
Konflik.
Atribusi Anda bisa menyebabkan konflik dengan orang lain. Misalnya Anda melihat kekasih Anda berpakaian sangat rapi dan wangi saat mau pergi keluar tanpa Anda. Nah, mungkin Anda menuduhnya karena ia berniat memikat orang lain. Oleh sebab itu bisa muncul pertengkaran. Demikian juga jika kekasih Anda terlambat datang memenuhi janjinya, lalu Anda menganggapnya karena ingin putus dengan Anda.
Konflik juga bisa terhindar kalau masing-masing pihak memiliki atribusi yang positif. Misalnya perilaku kekasih Anda memakai pakaian terbaik dan berdandan sehingga tampak cantik adalah untuk menyenangkan Anda. Maka tentu saja itu tidak akan menimbulkan konflik. Sebaliknya jika dianggap untuk memikat orang lain, maka akan menimbulkan konflik.
Atribusi juga bisa menyelesaikan konflik. Anda terlihat oleh kekasih Anda sedang ngobrol dengan laki-laki lain. Lalu kekasih Anda marah karena menganggap Anda naksir laki-laki yang diajak ngobrol. Anda lalu menjelaskan pada kekasih Anda, bahwa laki-laki yang Anda ajak ngobrol adalah teman sekolah sejak SD sampai SMA, yang sudah lama tidak bertemu. Jadi wajar kalau ngobrol banyak. Nah, jika kekasih Anda kemudian mengubah atribusinya, maka konflik akan terhindar.
D.
Attitudes
dan Persuasi
1. Attitudes
Attitudes
sering diartikan sebagai sikap. Attitudes
sangatlah penting bagi seorang individu dimana berhubungan dengan aspek-aspek
dari perilaku social kita. Attitudes seseorang
mengandung evaluasi terhadap suatu objek, baik individu lain , benda, ataupun
kejadian tertentu, dan mengandung penilaian yang bersifat positif ataupun
negatif.
Menurut Lahey, attitudes adalah keyakinan atau kepercayaan seseorang yang
mempengaruhi perasaan dan perilaku
seseorang . Dari definisinya, dapat kita simpulkan bahwa attitudes terdiri dari tiga kompenen
utama , yaitu :
a. Keyakinan
Keyakinan (beliefs) merupakan komponen kognitif
dari attitudes seseorang. Keyakinan
ini meliputi pemikiran seorang individu yang terlibat dalam penilaian suatu
objek. Keyakinan seorang individu bisa bernilai positif maupun negatif.
b. Perasaan
Perasaan individu
merupakan aspek kognitif dari attitudes.
Perasaan meliputi aspek emosional seseorang terhadap suatu hal yang bisa saja
kuat (positif) ataupun lemah (negatif).
c. Perilaku.
Perilaku sebagai aspek ketiga dari attitudes meliputi melakukan atau tidak
melakukan suatu perilaku.
Adanya
suatu keyakinan dan perasaan tertentu akan suatu hal akan membentuk sikap (attitudes) seseorang terhadap hal
tersebut. Dengan attitudes yang
terbentuk itu, individu menentukan perilakunya. Akan tetapi, suatu perilaku
yang dilakukan seorang individu juga dapat mempengaruhi attitudes yang telah terbentuk.
Sikap (attitudes) setiap orang terhadap suatu objek tidaklah sama. Hal ini dikarenakan attitudes merupakan hal yang diperoleh dari proses belajar.
Individu mempelajari sikap yang ditunjukkannya dari pengalaman ia sendiri
maupun dari pengalaman orang lain. Jika dipelajari dari pengalaman diri
sendiri, maka individu cenderung belajar berdasarkan proses belajar Classical Conditioning. individu
mengalami suatu pengalaman dan kemudian menentukan sikapnya sendiri. Jika
dipelajari dari orang lain, maka seorang individu cenderung belajar melalui
proses modeling atau meniru dan melalui reinforcement.
Attitudes
seseorang sangatlah penting dalam lingkungan sosial dikarenakan tiga fungsi
utama dari attitudes, yaitu :
a.
Predispose
Fungsi utama dari attitudes yaitu mempengaruhi dan
mengarahkan individu untuk berperilaku dalam cara tertentu. Karena fungsinya mengarahkan
individu dalam berperilaku, maka attitudes
juga berfungsi dalam memprediksi perilaku seseorang. Meskipun attitudes berfungsi mengarahkan
perilaku, namun tidak memaksa seorang individu untuk berperilaku.
b.
Interpret
Fungsi kedua dari attitudes adalah sebagai arahan dalam
mengintepretasi suatu hal , mengkategorisasikan objek dan kejadian tertentu,
serta menentukan perilaku. Intepretasi setiap individu terhadap suatu hal yang
sama bisa berbeda –beda, bisa positif ataupun negatif. Perilaku yang muncul
kemudian dipengaruhi oleh interpretasi individu itu sendiri.
c.
Evaluate
Fungsi attitudes yang lain yaitu untuk
mempertahankan keyakinan yang dimiliki seseorang , yang dianggap sangat penting
oleh individu tersebut.
2.
Persuasi
Attitudes
seseorang yang telah terbentuk akan sulit untuk diubah, terutama yang bersifat
negatif. Akan tetapi, sulit tidak berarti tidak mungkin. Terdapat usaha – usaha
yang dilakukan pihak- pihak tertentu untuk mengubah sikap (attitudes) seseorang. Perubahan attitudes
dilakukan melalui proses persuasi. Hal ini banyak dilakukan oleh perusahaan-
perusahaan agar masyarakat mengubah sikap mereka dan membeli produk dari
perusahaan tersebut.
Persuasi adalah
suatu proses yang bertujuan untuk mengubah attitudes
seseorang melalui argument-argumen. Proses ini merupakan proses alamiah dan
penting dalam kehidupan sehari-hari kita. Argumen yang bersifat persuasif pada
dasarnya tidak berfokus pada seberapa logis pernyataan tersebut . Akan tetapi,
berfokus pada tiga faktor utama berikut ini, yaitu :
1. Pembicara
atau narasumber
Pembicara
sebagai sumber informasi sangat mempengaruhi kuatnya persuasi suatu argumen. Pembicara
berperan sebagai orang yang akan mempersuasi orang lain. Suatu argument akan
lebih bersifat peruasif apabila berasal dari sumber terpercaya, ahli, dan
disukai. Berikut karakteristik dari pembicara yang mempengaruhi tingkat
persuasive suatu argument:
a. Kredibilitas
Persepsi pendengar mengenai
kredibilitas pembicara sangat mempengaruhi seberapa persuasif suatu argumen.
Kredibilitas pembicara tidak dinilai dari pendidikan, status, ataupun
intelegensi pembicara, melainkan apakah pembicara merupakan sumber yang dapat
dipercaya mengenai argument yang dinyatakan. Semakin terpercaya si pembicara , maka semakin persuasif suatu argumen.
Carl Hovland kemudian
mengeluarkan teori yang disebut dengan sleeper
effects (Hovland & Weiss, 1951).
Hovland menyatakan bahwa suatu pesan dari pembicara yang kurang
terpercaya, tidak akan efektif dalam mempersuasif orang lain awalnya. Akan
tetapi, setelah suatu selang waktu, pesan atau informasi tersebut akan
berpotensi mempengaruhi orang lain. Hal ini dikarenakan seseorang cenderung
melupakan siapa yang menyatakan informasi yang mana.
b. Daya
tarik
Seorang pembicara yang
menarik, populer, terkenal, dan disukai akan lebih efektif dalam mengubah
pendapat orang lain. Akan tetapi, daya tarik seseorang memiliki batasan dalam
mempersuasi orang lain, meskipun daya tarik merupakan hal utama dalam
periklanan.
c. Tujuan
Seorang pembicara yang
dengan sangat jelas bertujuan mengubah opini orang lain , sebenarnya malah
cenderung kurang efektif dalam mempersuasi orang lain.
2. Isi
komunikasi
Isi
dari argumen yang dinyatakan tentu saja mempengaruhi tingat persuasif suatu
argument. Terdapat beberapa karakteristik dari isi pesan yang mempengaruhi
tingkat persuasif suatu argument, yaitu :
a. Memunculkan
ketakutan
Suatu informasi dalam
komunikasi yang menimbulkan rasa takut cenderung lebih efektif dalam
mempersuasi orang lain. Seorang pendengar akan terpengaruh oleh rasa takut
dalam informasi tersebut, hanya jika emosi yang dimunculkan dalam pesan
tersebut cukup kuat, jika pendengar merasa bahwa hal yang menakutkan tersebut
akan terjadi pada mereka, dan jika dalam pesan tersebut juga disampaikan cara
menghindari hal menakutkan tersebut.
b. Argumen
dua-sisi
Dalam perdebatan suatu
topik, akan selalu terdapat 2 sisi. Sisi pro dan sisi kontra, sisi positif dan
sisi negatif, atau sisi keuntungan dan sisi kerugian. Dalam mempersuasi
pendengar, pembicara haruslah mempertimbangkan apakah akan menyatakan kedua
sisi dari suatu argument, atau hanya salah satu sisi dimana ia berpihak.
Pertimbangan ini dilakukan dengan mempertimbangkan tipe pendengar.
Ketika pendengar hanya
memiliki informasi tentang salah satu sisi argument yang ingin dipersuasi oleh
pembicara, maka sebaiknya argument yang dinyatakan hanya satu sisi. Akan
tetapi, apabila pendengar mengetahui keseluruhan tentang topic yang
dibicarakan, akan lebih baik jika argument yang dinyatakan dua sisi.
c. Cara
penyampaian pesan
Pesan yang disampaikan
dalam kata-kata dalam cara yang berbeda akan menyebabkan orang merespon pesan
tersebut dengan cara yang berbeda. Penyampaian pesan dengan cara yang berbeda
akan membantu meningkatkan efektifitas suatu pesan dalam mempersuasi pendengar
atau pembaca. Karena itu, dalam mempersuasi orang lain, tidak hanya apa yang
kita katakan yang penting melainkan juga bagaiman penyampaian pesan tersebut
dilakukan.
3. Pendengar
Karakteristik
pendengar sebagai orang yang menerima pesan juga mempengaruhi tingkat persuasif
suatu argumen. Dalam suatu komunikasi, pendengar berperan sebagai orang yang
akan dipersuasi. Dengan mengetahui karakteristik pendengar juga dapat membantu
pembicara untuk mempersuasi pendengar.
a. Intelegensi
Secara umum, orang
dengan intelegensi yang rendah akan lebih mudah dipersuasi. Akan tetapi,
apabila informasi yang disampaikan bersifat kompleks, maka orang dengan
intelegensi tinggi yang lebih mudah dipersuasi.
b. Kebutuhan
diterima lingkungan social
Individu yang sangat
memerlukan social approval, atau
kebutuhan untuk diterima atau disukai oleh masyarakat, akan lebih mudah untuk
dipersuasi.
c. Self-esteem
Individu dengan self-esteem yang sedang cenderung lebih
mudah dipersuasi. Sedangkan individu dengan self-esteem
yang terlalu tinggi atau terlalu rendah cenderung telah memiliki pendapat
mereka sendiri yang cukup kuat, sehingga lebih sulit untuk dipersuasi.
d. Ukuran
pendengar
Ketika pendengar
merupakan sekelompok orang, maka persuasi cenderung lebih efektif dibandingkan
ketika pendengar hanya seorang.
e. Dukungan
social
Individu yang memiliki
teman atau kenalan dengan attitudes
yang sama cenderung lebih susah dipersuasi dibandingkan individu yang memiliki
perbedan attitudes dengan teman
sekitarnya.
Selain
tiga faktor utama di atas, terdapat faktor lain yang ikut berperan dalam upaya
mengubah attitudes seseorang, yaitu
teknik persuasi. Teknik persuasi adalah berbagai cara yang digunakan seseorang
ketika sedang berusaha meyakinkan orang lain dengan argumennya . Teknik
persuasi yang digunakan sebenarnya bergantung pada pembicaranya. Tergantung
bagaimana si pembicara mengutarakan pesan dari argumennya kepada pendengar,
agar si pendengar setuju.
Yang
pertama adalah The Central Route of
Persuasion. Dalam upaya mempersuasi orang, pembicara menyampaikan informasi
dengan argument yang kuat, analisis, fakta dan juga logis. Pembicara juga harus
menyampaikan argumennya dengan jelas dan detail. Penggunaan metode ini berfokus
pada isi dari argumennya. Metode ini akan efektif apabila pendengarnya memiliki
keinginan tinggi untuk mengetahui fakta dan isu yang sebenarnya.
Berkebalikan
dengan yang pertama, yaitu metode The
Peripheral Route of Persuasion. Dalam
penggunaan metode ini, pembicara bukan memberikan argumen- argumen kuat
mengenai isu-isu dan fakta tetapi cenderung memberikan pidato yang bersifat
antusias dan bersemangat. Pendengar cenderung lebih mementingkan karakteristik
pembicaranya. Oleh karena itu, pembicara cenderung lebih berusaha membangun attitudes yang positif dari pedengarnya
sehingga akan setuju dengan sudut pandangnya.
Selain
itu, teknik persuasi klasik yang cukup sering digunakan yaitu foot-in-the-door
technique. Dalam penggunaan teknik persuasi ini, pembicara awalnya akan
melakukan suatu permohonan yang kecil terlebih dahulu. Jika permohonan tersebut
disetujui dan dikabulkan, maka ia akan meminta permohonan yang lebih besar lagi
dan cenderung lebih mudah diterima.
Teknik lain yang cukup mirip dengan foot-in-the-door technique yaitu low-ball technique . Teknik ini mirip
dengan teknik yang pertama karena pada awalnya pendengar ditawari suatu
perjajian. Setelah disetujui, maka perjanjian tersebut berubah. Biasanya
perubahan ini cenderung merugikan pendengar. Akan tetapi karena perjanjian awal
yang telah disetujui, perubahan tersebut cenderung lebih mudah diterima
pendengar.
3.
Perubahan
Attitudes dan Perilaku : Cognitive Dissonance Theory
Teknik
– teknik yang dibahas di atas merupakan teknik yang digunakan ketika seseorang
ingin mempersuasi orang lain dengan tujuan mengubah attitudes orang lain.
Berusaha mengubah menunjukkan ada attitudes yang berbeda antara satu orang dengan orang
lain, yang juga menimbulkan perilaku yang berbeda. Ini merupakan hal yang wajar
karena setiap orang memiliki persepsi yang berbeda-beda.
Akan
tetapi, juga sangat memungkinkan apabila perilaku seorang individu berbeda
dengan attitudes-nya sendiri.
Perilaku yang muncul berbeda dengan perilaku yang seharusnya muncul dari attitudes-nya. Keadaan seperti ini
kemudian oleh Leon Festinger (1957) dijelaskan melalui Cognitive Dissonance Theory.
Cognitive dissonance adalah
rasa tidak nyaman yang muncul karena adanya perbedaan antara perilaku kita
dengan attitudes kita. Menurut Leon,
rasa tidak nyaman yang muncul tersebut akan memotivasi individu untuk melakukan
apapun untuk mengecilkan rasa tersebut. Hal yang biasa dilakukan adalah
melakukan salah satu perubahan antara perubahan perilaku atau perubahan attitudes .
Jika
perubahan perilaku yang dilakukan maka, individu akan mengubah perilakunya
sesuai dengan attitudes nya sendiri.
Perubahan perilaku ini biasanya dinamakan counterattitudinal
behavior. Jika perubahan perilaku sulit dilakukan, maka seorang individu
cenderung memilih untuk mengubah attitudes-nya.
Yaitu dengan menambah unsure-unsur baru atau melakukan perubahan attitudes sehingga sesuai dengan
perilakunya. Individu cenderung akan memilih perubahan yang lebih gampang
dilakukan tergantung kasus yang dialaminya.
E.
Prejudice dan Stereotypes
Individu dalam
kehidupan bermasyarakatnya pasti memiliki pandangan tentang orang lain, memiki attitudes tersendiri tentang orang lain.
Attitudes tentang orang lain tersebut
muncul di saat pertama individu bertemu dengan individu lain.
Dalam kehidupan sehari-hari, bukanlah tidak
mungkin bahwa attitudes yang muncul
itu bersifat negatif. Hal ini mungkin
saja disebabkan karena adanya persepsi yang salah mengenai seseorang tersebut
karena ia berasal dari suatu kelompok tertentu. Suatu attitudes yang bersifat negatif, merugikan dan berbahaya karena
adanya generalisasi yang tidak akurat terhadap sekelompok individu disebut
prasangka (prejudice).
Setiap orang
dalam kehidupan bermasyarakat pasti berusaha menghindarkan diri memiliki
prasangka terhadap kelompok-kelompok tertentu. Akan tetapi, secara tidak sadar,
sebenarnya setiap individu bereaksi dengan cara yang berbeda-beda terhadap
anggota dari kelompok yang berbeda. Meskipun hal ini selalu dihindari, namun
kadang tidak dapat kita kontrol dan muncul dengan sendirinya. Keadaan ini
disebut juga dengan automatic prejudice.
Pada umumnya, prasangka muncul berdasarkan
warna kulit, agama, jenis kelamin, umur, atau karakteristik yang mudah terlihat
lainnya. Munculnya prasangka ini dikarenakan kesalahan generalisasi suatu
kelompok yang kita sebut dengan stereotype.
Stereotype
yang terdapat dalam diri individu tentang orang lain, baik yang positif maupun
negative sebenarnya tetap merugikan. Hal ini dikarenakan tiga alasan berikut :
1. Stereotype
menghalangi kita memperlakukan anggota suatu kelompok sebagai seorang
individu.
Ketika kita mengetahui stereotype suatu kelompok tertentu, dan
kemudian kita bertemu dengan seseorang yang berasal dari kelompok tersebut,
maka tidak terhindarkan bahwa kita akan langsung berpikiran bahwa karakteristik
orang tersebut adalah sama dengan stereotype
kelompok dimana ia berasal. Dengan pemikiran seperti itu, maka kita cenderung
memperlakukan orang tersebut seperti anggota kelompok lainnya, tanpa memikirkan
bahwa ia bisa saja memiliki karakteristik yang berbeda dengan kelompoknya.
2. Stereotype
menyebabkan ekspektasi perilaku yang sempit.
Dengan adanya
stereotype tertentu, maka kita cenderung untuk memprediksikan perilaku seorang
individu sesuai dengan perilaku kelompok individu tersebut. Apabila terjadi
perbedaan perilaku yang muncul, maka kita cenderung menyatakan perilaku yang berbeda
tersebut sebagai suatu penyimpangan atau abnormal.
3. Stereotype
mengarahkan pada atribusi yang salah.
Teori
atribusi menyatakan bahwa manusia cenderung selalu berusaha untuk menjelaskan
mengapa suatu hal dapat terjadi, dan mencari tahu penyebabnya. Yang peling
sering dilakukan yaitu berusaha menjelaskan suatu perilaku, bak yang dilakukan
orang lain ataupun dilakukan sendiri.
Jika seorang individu telah memiliki stereotype tertentu , maka akan
mempengaruhi atribusi yang dilakukan
individu tersebut. Kesalahan atribusi
ini kemudian juga memperkuat prasangka terhadap suatu kelompok tertentu, karena
manusia cenderung hanya melihat fakta-fakta pendukung prasangka mereka dan
menolak yang berlawanan.
Jika ditanyakan
mengapa stereotype dan prejudice bisa muncul dalam lingkungan
social, maka terdapat tiga sebab utama penyebab munculnya stereotype dan prejudice, yaitu
:
1. Konflik
Realistik
Realistic
conflict theory menyatakan bahwa individu yang sedang
merasa frustasi atau marah ketika sedang berkompetesi dengan kelompok lain,
akan melihat kelompok lain dengan pandangan yang sangat negatif.
2. “Kita”
versus “Mereka”
Individu dalam
kehidupan bermasyarakat cenderung membagi diri menjadi dua kelompok. Kelompok
“kita” dan kelompok “mereka”. Dalam suatu penelitian yang dilakukan oleh Sherif
dan Sherif (1953) , setelah serangkaian kegiatan, maka kedua kelompok mulai
bersiteru dan mulai memberi nama panggilan. Ini menjadi awal munculnya
prasangka.
3. Social Learning
Tidak dapat dipungkiri
bahwa prasangka dan juga stereotype juga merupakan hasil belajar. Proses belajar
yang terjadi biasanya dengan modeling terhadap prasangka dan stereotype yang
diekspresikan orang lain.
Dikarenakan dampak
negatif yang ditimbulkan dalam kehidupan bermasyarakat, maka tentu saja kita
harus berusaha melawan prasangka yang muncul. Ketika kita berusaha melawannya ,
maka kita juga berusaha mengurangi dan menghilangkan prasangka yang telah ada
secara perlahan-lahan. Terdapat tiga upaya efektif yang dapat dilakukan , yaitu
:
1. Mengenali prasangka
Banyak orang yang tidak
ingin mengakui bahwa dirinya juga memiliki prasangka terhadap suatu kelompok
tertentu. Maka dari itu tahap pertama untuk melawan perjudice yaitu dengan menyadari terlebih dahulu prasangka yang ada
.
2. Mengontrol Automatic Prejudice
Ketika seorang individu bahkan tidak menyadari bahwa ia
memiliki prasangka, maka ia tidak akan mampu mengontrol reaksi yang muncul
akibat automatic prejudice tersebut. Bahkan
ketika seseorang telah menyadari adanya prasangka dalam dirinya, tidaklah mudah
untuk mengontrol reaksi yang muncul. Oleh karena itu, hal kedua yang harus
dilakukan adalah berusaha mengontrol reaksi yang muncul tersebut.
3. Meningkatkan
hubungan antar Prejudiced-groups.
Seperti yang telah
dibahas sebelumnya, bahwa prasangka adalah sesuatu yang dipelajari. Karena itu,
prasangka juga dapat diubah. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah
dengan melakukan interaksi langsung dengan kelompok lain. Akan tetapi interaksi
tersebut dapat efektif jika terjadi dalam beberapa kondisi berikut :
a. Kedua
kelempok memiliki status yang setara
Ketika dua anggota
kelompok dengan status yang berbeda berinteraksi, maka prasangka yang telah ada
tersebut tidak mungkin akan dapat dihilangkan.
b. Anggota
setiap kelompok memandang anggota kelompok lain sebagai sama dengan kelompok
yang mereka hormati, bukan sebagai pengecualian.
Ketika seorang individu
berinteraksi dengan anggota dari suatu kelompok, namun mengganggapnya hanya
sebagi pengecualian, prasangka terhadap kelompok tersebut tidak akan pernah
bisa hilang.
c. Kedua
kelompok bekerja sama dalam tugas yang bersifat kooperatif bukan kompetitif.
Ketika dua kelompok
saling berkooperatif, maka akan timbul rasa saling menghormati. Akan tetapi
jika kedua kelompok saling berkompetisi, maka menjadi penyebab pembentukan
prasangka.
d. Interaksi
yang dilakukan bersifat informal.
Jika interaksi yang
dilakukan bersifat formal, maka interaksi efekftif tidak akan terjadi. Upaya
melawan atau menghilangkan prasangka juga tidak akan efektif.
F.
GROUP AND SOSIAL
INFLUENCE
Manusia
dalam kehidupan sosialnya pasti berinteraksi dengan lingkungan sosialnya.
Interaksi yang dilakukan umunya dalam bentuk berkelompok, atau melakukan
interaksi dengan suatu kelompok tertentu. Adanya interaksi dalam bentuk berkelompok
dan juga lingkungan social sebenarnya mempengaruhi manusia itu sendiri. Berikut
beberapa hal yang terjadi dalam kehidupan social manusia.
1. Lynch
Mobs
Pada awal abad kedua puluh, seorang
pria Amerika Afrika bernama William Carr ditangkap dan dituduh membunuh sapi dari keluarga kulit putih di Louisiana selatan. Sebuah
gerombolan warga mengambil Carr dari sheriff, yang tidak melawan mereka, dan
menggantungnya tanpa pengadilan. Selama era di mana penggantungan ini
berlangsung, rata-rata dua orang Amerika Afrika digantung setiap minggu di
Amerika Serikat. Penggantungan mengatakan banyak tentang prasangka rasial topik
tetapi mereka juga mengatakan banyak tentang efek dari kelompok pada perilaku
individu. Diketahui bahwa, individu
dalam kelompok tersebut belum pernah membunuh sebelumnya. Akan tetapi, ada sesuatu
dalam kelompok yang mengubah
mereka
menjadi
massa yang sangat mampu membunuh (Postmes
& Spears, 1998).
Dalam kondisi tertentu, berada dalam
grup dapat membuat seseorang merasa anonymous
dan tidak teridentifikasi. Perasaan ini dapat menyebabkan proses yang dikenal sebagai
deindividuation (Zimbardo, 1969). Dalam keadaan ini, orang kurang menyadari perilaku
mereka sendiri dan kurang peduli
dengan apa yang orang lain pikirkan
tentang perilaku mereka. Hasilnya
dapat meningkatkan kemungkinan melakukan tindakan yang biasanya tidak akan dilakukan. Ketika seseorang berada
dalam satu grup dan merasa tidak teridentfikasi, maka semakin agresif
seseorang.
2. Uninvolved
Bystanders
Kasus
Kitty Genoves yang tewas dalam pertarungan dengan orang lain selama 30 menit,
yang disaksikan oleh 38 tetangganya tanpa seorangpun tergerak untuk keluar
menolongnya ataupun menelpon polisi agar kematian dapat dicegah. Peristiwa ini
merupakan satu kejadian yang menjadi contoh adakalanya sekelompok individu
tidak melakukan aapapun ketika kita melihat orang lain melakukan sesuatu.
Sebuah
penelitian menemukan bahwa pada umumnya individu cenderung tidak perduli disaat
orang lain dalam kerumunan massa. Hal ini dikarenakan kehadiran orang lain akan
mempengaruhi persepsi seseorang tentang perlukah orang lain tersebut ditolong?
Dan apakah itu menjadi tanggung jawab kita untuk menolong? Sebagaimana yang
digambarkan dalam satu konsep, yaitu manakala seseorang masuk pada suatu
kelompok akan terjadi penurunan terhadap tanggung jawab personal, konsep ini
disebut Diffusion of responsibility. Diffusion of responsibility adalah efek berada dalam kelompok yang tampaknya mengurangi rasa tanggung jawab pribadi masing-masing anggota kelompok untuk bertindak dengan tepat.
3.
Working
and Solving Problems in Groups
Pada
umunya manusia lebih sering berinteraksi
dalam
kelompok. Misalnya, belajar kelompok, tim kerja, rapat organisasi ataupun
usaha. Apakah bekerja dalam kelompok akan menunjukkan sisi yang terbaik dari
kita? Hal tersebut sangat tergantung pada situasi, apabila situasinya kita
masuk dan menjadi anggota suatu kelompok menyenangkan mungkin akan terjadi
peningkatan kemampuan individu seseorang. Situasi ini disebut dengan social facilitation (Levine, Resnick,
& Higgins, 1993). Sedangkan jika terjadi adalah sebaliknya maka fenomena
ini disebut dengan social loafing. Social
facilitation adalah efek dimana bekerja dalam sebuah grup dapat
meningkatkan performa seseorang dalam pekerjaannya. Social loafing adalah
kecenderungan anggota kelompok untuk bekerja kurang keras saat kinerja kelompok diukur daripada ketika kinerja
individu diukur.
Faktor
terjadinya social loafing yaitu:
(a)
Banyaknya anggota kelompok
Menurut
para tokoh semakin besar sebuah kelompok, akan semakin berkurang kontribusi
anggota kelompok untuk kelompoknya(Sorkin, Hays, & West, 2001).
Penyebab
munculnya hal itu karena ada 3 hal ,yaitu :
(a)
Ada
anggota kelompok percaya bahwa anggota kelompok yang lain dapat berkontribusi
lebih baik daripada dirinya.
(b)
Anggota
kelompok lain tidak memberikan respon yang positif terhadap kontribusi yang
telah diberikan individu tersebut.
(c)
ada anggota kelompok yang merasa bahwa
kelompoknya tidak membutuhkannya
(b)
Jenis
tugas
Jenis
tugas merupakan faktor penting dalam menunjukkan performa individu di dalam
sebuah kelompok. Ketika mengerjakan suatu jenis pekerjaan di dalam kelompok,
seorang individu bisa saja merasa terganggu dengan kehadiran individu yang
lain. Tetapi bisa juga sebaliknya, kehadiran individu lain justru memacu
kinerja individu tersebut menjadi lebih baik. Menurut teori arousal,
suatu pekerjaan yang mudah bagi individu akan semakin mudah dan cepat
terselesaikan apabila ada individu lain yang menyaksikannya. Namun sebaliknya,
pekerjaan yang sulit bagi individu akan semakin sulit dan lama terselesaikan
apabila disaksikan individu lain. Misalnya, musisi professional yang sudah
sangat terlatih akan bermain lebih baik saat pertunjukannya disaksikan oleh
banyak orang. Tetapi bagi musisi amatir yang belum terlatih, kehadiran orang
lain justru akan membuatnya grogi.
Group Problem Solving
Adakalanya
orang-orang lebih suka memecahkan masalah yang kompleks secara kelompok
daripada memecahkannya sendiri (Laughlin & others, 2003; Sorkin &
others, 2001). Tetapi ada saat dimana proses pengambilan keputusan tersebut
salah dan berakibat fatal walaupun individu-individu dalam kelompok tersebut
dianggap kompeten. Hal inilah yang disebut dengan groupthink (Irvink Jannis, 1982). Ada 3 faktor yang dapat
menyebabkan terbentuknya groupthink:
(1) Proses
polarisasi
Polarisasi
merupakan suatu keadaan dimana anggota kelompok menyatakan pendapatnya secara
lebih ekstrim tanpa mempedulikan persoalan yang sesungguhnya.
(2) Sifat
kohesif anggota kelompok
Cohesiveness
merupakan suatu keadaan dimana anggota kelompok saling terkait secara erat,
cenderung berpendapat sama, dan enggan menerima pendapat yang dianggap berbeda
dari pendapat umum. Oleh karena itu, pendapat dan keadaan yang bertentangan
seringkali tidak dimunculkan sehingga mengarah pada keputusan yang salah. Untuk
menghindari hal ini, paling tidak harus ada seorang anggota yang diminta untuk
memerankan peranan devil’s advocate, untuk selalu menyatakan pendapat-pendapat
yang berbeda dengan pendapat anggota kelompok pada umumnya.
(3) Jumlah
individu dalam kelompok
Jumlah
anggota kelompok sangat berpengaruh terhadap proses interaksi dalam kelompok.
Dalam kelompok kecil, interaksinya bersifat dialog interaktif karena semua
dapat saling bertukar pikiran secara langsung. Sedangkan dalam kelompok, besar,
akan sulit terjadi dialog interaktif. Justru yang terjadi adalah serial
monologue, dimana para anggota secara bergantian memberikan semacam pidato,
bukan lagi interaksi dua arah. Sehingga seringkali, pendapat minoritas tidak
sempat dimunculkan.
4.
Conformity, Social Roles, dan Obedience
Ketika mendengar kata sosial, kita pasti memiliki apresiasi untuk
mengatakan adanya pengaruh yang kuat dari situasi sosial pada perilaku
individu. Jelas, situasi sosial mempengaruhi kita setiap hari. Kita harus dapat
mempertimbangkan kecenderungan kita untuk menyesuaikan diri dengan harapan
teman kelompok dan budaya, pengaruh sosial ditentukan oleh peran dan norma pada
perilaku kita, dan kecenderungan kita untuk patuh mengikuti petunjuk dari tokoh
yang berwenang (yang sering disebut sebagai pemimpin).
Conformity (Penyesuaian)
Ketika kita adalah anggota kelompok, kita cenderung untuk
berperilaku seperti orang-orang yang berada dalam kelompok kita. Conformity adalah memilih menyerah pada
tekanan kelompok untuk bertindak seperti anggota kelompok tersebut, bahkan
ketika tidak ada peraturan yang telah dibuat.
Sebuah studi tentang conformity
dikemukakan oleh Solomon Asch (1956). Aktor dan partisipan ditempatkan di
ruangan yang sama. Dengan menempatkan partisipan diurutan akhir. Mereka
diperlihatkan sejumlah kartu bergambar garis dan disuruh memilih dari pilihan
jawaban garis mana yang panjangnya sama. Kemudian aktor dengan sengaja menjawab
jawaban yang salah. Soal yang diberikan mudah dan jawabannya sangat jelas,
namun 74 persen dari kasus, peserta menyesuaikan dengan tekanan kelompok dan
memberikan jawaban yang salah, padahal waktu yang diberikan cukup lama. Ketika
para partisipan diwawancara selepas percobaan, sebagian besar dari mereka
mengaku tidak percaya pada jawaban dominan namun tetap menjawab salah karena
takut dianggap aneh atau dicemooh. Sedangkan sebagian kecil dari mereka berkata
kalau mereka benar-benar mengira bahwa jawaban partisipan aktor adalah benar.
Mengapa peserta mau
melakukan konformitas padahal mengetahui itu merupakan jawaban yang salah? Conform terjadi karena dua
alasan berikut:
- Untuk mendapatkan penghargaan menghindari
hukuman (seperti persetujuan sosial atau dissaproval)
- Untuk mendapatkan informasi.
Dalam
situasi Asch, orang-orang tampaknya meminta persetujuan dan menghindari
ketidaksetujuan. Bagaimana kita tahu? Ketika percobaan line-judgment yang sama dilakukan dalam cara yang sedikit berbeda
memungkinkan peserta penelitian untuk membuat penilaian mereka secara pribadi,
hampir tidak ada conformity kepada
penilaian yang keliru atas individu lain. Rupanya, kita mampu membuat pikiran
kita secara pribadi bahkan dalam menghadapi tekanan dari orang lain, tapi kita
sering ikut-ikutan dengan orang lain yang sama sekali tidak menceminkan
perilaku kita.
Kadang-kadang, bagaimanapun, kita conform dengan perilaku orang lain pada tingkat yang jauh lebih
dalam. Hal ini terbukti dari eksperimen Asch itu. Sherif (1936) melakukan
penelitian yang mengambil keuntungan dari fenomena persepsi yang disebut efek
autokinetik. siswa yang diminta memperkirakan jarak antara gerak suatu titik cahaya
dilayar dalam suatu ruang gelap. Di kala eksperimen dilakukan dengan
masing-masing subyek secara terpisah. Jawaban-jawaban yang diberikan cenderung
berbeda satu sama lain. Namun manakala
eksperimen dilakukan dengan beberapa orang subyek sekaligus dan para subyek
dimungkinkan untuk saling mempengaruhi, maka jawaban subyek cenderung sama.
Dari eksperimen ini Sherif menyimpulkan bahwa kelompok orang cenderung membentuk suatu norma sosial. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa ketika dalam situasi yang ambigu (seperti efek
autokinetic), seseorang akan melihat ke orang lain yang tahu lebih banyak atau
lebih baik dan akhirnya memilih mengadopsi norma kelompok. Mereka ingin
melakukan hal yang benar tetapi mungkin tidak memiliki informasi yang tepat.
Mengamati orang lain dapat memberikan informasi ini. Hal ini dikenal sebagai
kesesuaian (conformity) informasi.
Beberapa
faktor yang meningkatkan kemungkinan conformity
di dalam sebuah grup:
1. Size of the Group (ukuran kelompok).
1. Size of the Group (ukuran kelompok).
Semakin
banyak orang yang ada di kelompok, semakin besar kemungkinan kita untuk melaju
bersama. Ketika kelompok terlalu besar, maka conformity akan berkurang.
2. Unanimous groups (kelompok yang sepakat).
Conformity tinggi ketika kita menghadapi kelompok yang
semuanya merasakan satu visi dan satu misi—kelompok tersebut dinamakan unanimous group. Tapi conformity akan berkurang bahkan ketika
satu orang lain dalam kelompok merasa seperti yang kita lakukan (Nail,
MacDonald, & Levy, 2000).
3. Culture and conformity (budaya dan pencocokan diri).
Sebuah
artikel oleh Psikolog Inggris Rod Bond dan Peters Smith (1996) menunjukkan
bahwa budaya merupakan faktor penting yang mempengaruhi conformity.. Conformity
terjadi pada semua budaya, tetapi orang-orang yang dari budaya individualistik,
menempatkan penekanan pada kesejahteraan individu—seperti di Amerika Utara—akan
sangat kurang conformitynya pada
percobaan Asch daripada orang-orang dari budaya kolektif, yang menekankan
kesejahteraan masyarakat sebagai satu-kesatuan bukan individu.
4. Gender dan conformity.
Menurut stereotipe tradisional, laki-laki
lebih mandiri dan lebih kecil kemungkinannya untuk conform daripada perempuan. Penelitian yang dilakukan sebelum
pertengahan 1950-an dianggap bahwa perempuan lebih mungkin untuk conform dibandingkan laki-laki pada
waktu itu. Penelitian yang lebih baru, bagaimanapun, telah menunjukkan bahwa
hal ini tidak lagi terjadi (Eagly, 1978; Eagly & Jhonson, 1990).
Social Roles and Social Norms (Peran Sosial
dan Norma Sosial)
Ketika orang bekerja sama dalam kelompok, upaya setiap individu
perlu dikoordinasikan dengan orang lain untuk menghindari kekacauan. Sebagai
respon terhadap kebutuhan ini, setiap kebudayaan telah berkembang banyak peran
sosial dan norma-norma sosial untuk memberikan pedoman seperti apa yang
diharapkan dari kita (Levine & lainnya, 1993). Setiap peran sosial
memberikan orang yang berbeda dari harapan untuk perilaku yang sesuai. Masing-masing peran sosial memberikan
orang sebuah setting yang berbeda
dari harapan untuk sebuah perilaku yang tepat yaitu:
1. Social roles
(peran sosial): pedoman
yang ditentukan oleh budaya, yang memberitahu masyarakat apa-apa perilaku yang
diharapkan dari budaya.
2. Social norms
(norma sosial): pedoman
yang diberikan oleh setiap budaya untuk menilai perilaku yang dapat diterima
dan tidak dapat diterima.
Peran sosial memiliki dampak yang kuat pada perilaku individu.
Ketika kita ditempatkan dalam peran baru, perilaku kita sering berubah sesuai
peran. Dalam contoh dramatis dari kekuatan peran sosial yang mempengaruhi
perilaku, psikolog sosial Philip Zimbardo dari Universitas Stanford memandang
peran sosial yang ada di penjara. Zimbardo tertarik dengan peran-peran tertentu
karena ia merasa bahwa mereka menyebabkan penganiayaan terhadap narapidana
dengan cara yang memperburuk perilaku mereka (Haney & Zimbardo, 1998).
Dalam percobaan penjara Zimbardo itu, relawan ditugaskan untuk peran sosial
sebagai penjaga dan tahanan secara dramatis serupa dengan peran tersebut.
Hal ini jelas bahwa peran sosial yang kuat dapat mempengaruhi
perilaku kita. Apa yang tidak selalu jelas adalah kita bermain banyak peran
dalam hidup kita dan bahwa setiap peran mempengaruhi kita apakah kita
menyadarinya atau tidak. Kita memainkan peran manusia, pasangan, ayah, orang
paruh baya, orang keturunan Irlandia, heteroseksual, saudara, anak, dan
profesor psikologi, untuk nama yang jelas. Setiap peran merupakan sumber dari
pengaruh sosial terhadap perilaku, apakah suka atau tidak. Kita bisa bekerja
keras tidak menjadi khas laki-laki atau ayah yang khas, namun peran ini pasti
mempengaruhi kita.
Selain sesuai dengan peran sosial kita, kita juga berperilaku
sesuai dengan aturan lisan dan tak terucapkan dikenal sebagai norma-norma
sosial. Norma-norma sosial budaya kita memberitahu kita bagaimana kita harus
bersikap dalam situasi tertentu. Orang Amerika akan menghindari kontak mata
dengan orang lain di lift dan menutup
mulut ketika batuk karena ini adalah norma-norma sosial untuk Amerika.
Kebanyakan orang sesuai dengan norma-norma sosial budaya mereka.
Obedience (Kepatuhan)
Salah satu penelitian yang paling menarik dan menakutkan dalam
psikologi sosial yaitu tentang obedience,
melakukan apa yang diperintahkan kepada kita oleh orang-orang yang berwenang.
Penelitian ini didorong sebagian oleh tentara dalam Perang Dunia II, dan
perang-perang lainnya, yang berkomitmen dalam kekejaman. Orang macam apa yang
akan bekerja sama dalam menyalahgunakan dan membunuh 6 juta orang Yahudi selama
Holocaust Perang Dunia II? Orang macam apa yang tidak akan menolak untuk
mematuhi perintah tersebut? Yang menakjubkan jawaban dari penelitian ini adalah
bahwa sebagian besar dari kita adalah orang semacam itu.
Stanley Milgram (1963, 1965) melakukan
serangkaian penelitian tentang masalah obedience.
Penelitiannya menguji studi memori. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Millgram, beliau menggunakan sengatan listrik yang bervariasi apabila ada
subjek yang salah menjawab, menemukan bahwa 65 % dari para subjek tetap patuh pada
tugasnya sampai pada tingkat tegangan 450 volt dan tidak seorang subjek pun
yang berhenti memberikan sengatan pada tegangan 300 volt. Millgram membuktikan
bahwa potensi bagi timbulnya kepatuhan merupakan semacam persyaratan penting
untuk hidup bermasyarakat yang mungkin telah terbentuk dari dulu.
Milgram mengulangi penelitian dan menemukan hasil yang sama,
dengan laki-laki dan perempuan dari berbagai latar belakang kehidupan yang
berbeda: mahasiswa, pekerja kerah biru, pekerja kerah putih, dan profesional.
Studi ini telah direplikasi di negara-negara lain juga. Hasil studi ini adalah
salah satu penemuan yang menyakitkan betapa kekuatan situasi sosial dan
kewewenangan sesat dapat menggunakan orang-orang biasa untuk patuh melaksanakan
keinginan mereka.
Hal
ini sedikit menghibur bahwa penelitian kemudian menemukan bahwa individu
mungkin akan kurang untuk mematuhi instruksi memberikan kejutan tegangan tinggi
ketika "korban" mereka berada di ruangan yang sama dengan mereka,
bertindak tertekan oleh guncangan. Selain itu, ketika prestisi eksperimen
berkurang, persentase orang dalam obedience
menurun menjadi sekitar 50 persen. Ketika eksperimen memberikan instruksi
melalui telepon secara pribadi, hanya 10 persen mematuhi instruksi eksperimen
itu sampai akhir. Obedience juga
berkurang ketika individu dituntun untuk merasa lebih tanggung jawab atas
tindakan mereka dan ketika pemerintah memiliki tujuan untuk mementingkan diri
sendiri. Fakta-fakta terakhir ini sedikit menggembirakan, tetapi mereka tidak
mengurangi dampak dari temuan Millgram ini: kekuatan situasi sosial terhadap
perilaku manusia dapat mengerikan dan
harus dijaga dengan cara melawan.
Orang yang ingin mendapatkan penerimaan dari lingkungannya
cenderung untuk mengikuti norma-norma yang ada dalam lingkungan tersebut.
Dengan mematuhi tuntutan lingkungan, individu berharap dapat menjadi bagian dan
diteroma oleh lingkungannya. Berdasarkan dari pengertian di atas, maka dapat
ditarik suatu kesimpulan bahwa obedience merupakan
kesediaan seseorang untuk melakukan sesuatu karena tekanan otoritas tanpa
mengetahui manfaatnya.
5. Sisi Positif dari Kelompok
Apakah diskusi ini cenderung meyakinkan Anda bahwa orang tidak
harus bekerja sama dalam hal apapun, atau bahwa satu-satunya cara untuk tetap
menjadi orang yang baik adalah untuk tinggal di sebuah gua sebagai seorang
pertapa? Jawabannya seharusnya. Pikirkan apa manfaatnya ketika kita berada
dalam kelompok. Ada banyak hal, yang ketika hanya satu orang saja yang bekerja,
hasilnya tidak akan dicapai.
Kelompok juga bisa menjadi salah satu metode terapi—memikirkan
kelompok pendukung dan group therapies
dan dapat memberikan dukungan emosional dan comfort.
Oleh karena itu, kita harus menyadari efek negatif dari kelompok pada perilaku
kita, sehingga kita tidak memilih untuk menghindari kelompok tetapi agar kita
dapat menciptakan dampak positif dari dalam kelompok itu sendiri.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Psikologi social adalah bidang ilmu psikologi yang
mempelajari tingkah laku manusia dalam berinteraksi dengan orang lain di
lingkungan sosialnya. Sebagai makhluk social, individu pasti melakukan
interaksi dengan orang lain. Dalam interaksi yang dilakukan, bisa berupa
interaksi antar individual, interaksi individual-kelompok , atau interaksi
antar kelompok. Ketika berinteraksi secara individual atau secara berkelompok,
perilaku yang muncul tidaklah sama. Ini dikarenakan adanya pengaruh lingkungan
social pada individu ketika berkelompok.
Dalam interaksi dengan orang lain, individu juga
memiliki suatu sikap tertentu. Sikap (attitudes)
yang dimiliki ini dapat mempengaruhi perasaan dan perilaku dari individu
tersebut. Karena itu, terdapat pula
upaya pengubahan attitudes yang
dilakukan pihak-pihak tertentu yang bertujuan agar individu mengubah
perilakunya yang disebut persuasi.
Individu dalam kehidupan bermasyarakat,
tidak dapat dihindari bahwa sikap (attitudes)
yang dimiliki juga dipengaruhi oleh lingkungan. Seorang individu cenderung
memiliki prasangka-prasangka tertentu yang muncul dikarenakan generalisasi yang
tidak tepat pada suatu kelompok, yang disebut stereotipe. Prasangka yang muncul
ini tentu saja sangat berdampak negatif dalam kehidupan sosial.
B.
Saran
Adanya pengaruh lingkungan sosial terhadap individu
memberikan dampak negatif dalam perilaku individu. Masyarakat sebagai individu
bermoral sebaiknya tidak terpengaruh akan dampak-dampak negatif dari kelompok
sebagai lingkungan sosialnya. Selain itu, setiap individu dalam kehidupan
bermasyarakat juga harus selalu berusaha melawan prasangka-prasangka yang telah
ada terhadap suatu anggota kelompok tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Lahey,
Benjamin B. 2007. Psychology An Introduction. New York: McGraw-Hill
Plotnik, Rod. 2005. Introduction to
Psychology 7th Edition. USA : Wadsworth Thomson Learning
Tidak ada komentar:
Posting Komentar