A.
TEORI-TEORI ATRIBUSI
1. Psikologi “Naif” dari Heider
Minat Psikologi Sosial terhadap proses atribusi diawali dengan teori Fritz
Heider (1958) yang peduli tentang usaha kita untuk memahami arti perilaku orang
lain, khususnya bagaimana kita mengidentifikasi sebab-sebab tindakannya. Secara
umum, perilaku dapat disebabkan oleh daya-daya personal (personal forces),
seperti kemampuan atau usaha dan oleh daya-daya lingkungan (environmental
forces), seperti keberuntungan atau taraf kesukaran suatu tugas. Jika suatu
tindakan diatribusi sebagai daya personal, akibatnya akan berbeda dengan
tindakan yang diatribusi dengan daya lingkungan.
Kita mengatribusi suatu tindakan disebabkan daya personal, hanya jika orang
yang kita persepsi tersebut mempunyai kemampuan untuk bertindak, berniat untuk
melakukan dan berusaha untuk menyelesaikan tindakannya. Jika demikian, kita
beranggapan bahwa atribusi tersebut berhubungan dengan sifatnya, sehingga dapat
kita gunakan untuk meramalkan tindakan-tindakan di masa yang akan datang. Di
sisi lain, jika kita mengatibusi sebagai daya lingkungan, hal ini tidak ada
hubungannya dengan sifat orang yang kita persepsi, sehingga tidak dapat
digunakan untuk meramalkan tindakan-tindakan di masa yang akan datang.
Teori Harold Kelley merupakan perkembangan dari Heider. Fokus teori ini, apakah
tindakan tertentu disebabkan oleh daya-daya internal atau daya-daya eksternal.
Kelley berpandangan bahwa suatu tindakan merupakan suatu akibat atau efek yang
terjadi karena adanya sebab. Oleh karena itu, Kelley mengajukan suatu cara
untuk mengetahui ada atau tidaknya hal-hal yang menunjuk pada penyebab
tindakan, apakah daya internal atau daya eksternal.
Kelley mengajukan tiga faktor dasar yang kita gunakan untuk memutuskan hal
tersebut, yaitu:
a. Konsistensi : respon dalam berbagai waktu dan situasi,
yaitu sejauh mana seseorang merespon stimulus yang sama dalam situasi atau
keadaan yang yang berbeda. Misalnya A bereaksi sama terhadap stimulus pada
kesempatan yang berbeda, maka konsistensinya tinggi.
b. Informasi konsensus : bagaimana seseorang bereaksi bila
dibandingankan dengan orang lain, terhadap stimulus tertentu. Dalam artian
sejauh mana orang-orang lain merespon stimulus yang sama dengan cara yang sama
dengan orang yang kita atribusi. Misalnya bila A berperilaku tertentu,
sedangkan orang-orang lain tidak berbuat demikian, maka dapat dikatakan bahwa
consensus orang yang bersangkutan rendah.
c. Kekhususan (distinctiveness) : sejauh mana orang yang kita atribusi tersebut memberikan respon yang berbeda terhadap berbagai stimulus yang kategorinya lama.
- Atribusi eksternal :
konsistensi tinggi, konsensus tinggi dan kekhususan tinggi.
- Atribusi internal :
konsistensi tinggi, konsensus rendah dan kekhususan rendah.
- Atribusi
internal-eksternal: konsistensi tinggi, konsensus rendah dan kekhususan
tinggi.
3. Teori Correspondence Interference (Jones dan Davis)
Setiap individu seolah-olah akan membuat inferensi, seperti inferensi
statistik, yaitu mencari pola umum (hukum umum) dengan membuang informasi yang
tidak relevan. Sebutan inferensi koresponden juga disebabkan karena teori ini
mencari korespondensi antara perilaku dengan atribusi disposisional (internal)
yang berbeda dengan penyebab-penyebab atribusi situasional. Teori ini
dimaksudkan untuk mengetahui apakah suatu perilaku itu disebabkan oleh
disposisi (karakteristik yang bersifat relatif stabil) pada individu atau
tidak.
Pertama-tama yang harus diketahui adalah akibat. Dengan mengetahui akibatnya,
dapat diketahui intensi atau niat orang berbuat. Diyakini ada niat atau
kesengajaan dalam berbuat, kalau individu mempunyai pengetahuan dan kemampuan
untuk melakukan suatu tindakan.
Setelah diketahui niat atau kesengajaan maka diinterferensi apakah perbuatan
tersebut diperbuat karena faktor disposisional atau bukan. Untuk meyakini
adanya faktor disposisional, maka harus ada dua hal yang dipenuhi, yaitu:
- Noncommon effects (akibat khusus) : perilaku
tersebut bersifat unik pada individu, yaitu diantara berbagai pilihan yang
mungkin dilakukan, individu memilih yang paling unik
- Social desirebility
(kepantasan atau kelayakan sosial) : seberapa jauh perbuatan mempunyai
nilai sosial yang tinggi. Kalau suatu perbuatan memang diinginkan banyak
orang, maka perbuatan tersebut mempunyai nilai kepantasan sosial yang
tinggi.
Untuk memahami seseorang dalam kaitannya dengan suatu kejadian, Weiner menunjuk dua dimensi, yaitu:
a. Dimensi internal-eksternal sebagai sumber kausalitas
b. Dimensi stabil-tidak stabil sebagai sifat kausalitas
Dimensi-dimensi Atribusi Menurut Weiner
:
a. Stabil secara internal : kemampuan, intelegensi, karakteristik-karakteristik fisik.
b. Stabil secara eksternal : kesulitan tugas, hambatan lingkungan.
c. Tidak stabil secara internal : Effort, mood, fatique.
d. Tidak stabil secara eksternal : keberuntungan (luck), kebetulan (chance), kesempatan (opportunity).
a. Stabil secara internal : kemampuan, intelegensi, karakteristik-karakteristik fisik.
b. Stabil secara eksternal : kesulitan tugas, hambatan lingkungan.
c. Tidak stabil secara internal : Effort, mood, fatique.
d. Tidak stabil secara eksternal : keberuntungan (luck), kebetulan (chance), kesempatan (opportunity).
Terimakasih sudah membaca Psikologi:
Teori-Teori Atribusi Menurut Heider, Kelly, Bernard Weiner, Jonas dan Davis.Sering-sering
ammpir yeah
DAFTAR
PUSTAKA
Joko Winarto (2011, 12 Maret). Teori
Atribusi Berner Weiner dan Implementasinya dalam
dan.htm
Mara
Suzana (2010, 22 November). Atribusi Sosial. Diakses pada 10 April
2012 dari http://marasuzanabintimasrizal.blogspot.com/atribusi-sosial.htm
Walgito,
Bimo. 2003. Psikologi Sosial. Yogyakarta: ANDI
Tidak ada komentar:
Posting Komentar